Selamat membaca....
----
Aileen tidak henti merasa bersalah saat melihat Raident yang terbaring lemah dengan berbagai alat di tubuhnya. Sudah lebih dari setengah jam tapi dokter dan suster masih sibuk menangani Raident.
“Tenang Ai, semua pasti akan baik-baik aja.” Kata Deka.
Kata-kata itu tidak pernah cukup untuk membuat kekhawatiran Aileen sirna begitu saja. Sekalipun Aileen sudah berkali-kali melihat Raident terbaring di rumah sakit, tetap saja Aileen merasa takut.
Sebenarnya Aileen merasa agak canggung karena hanya berdua dengan Deka. Apalagi setelah sesi menangisnya beberapa saat lalu, rasanya Aileen ingin menghilang.
Sampai kepada saat Aileen baru mengingat kalau di melupakan hal penting. Aileen menatap ke arah Deka yang juga menatap ke arahnya. Aileen membasahi bibir untuk mengurangi rasa gugupnya.
“Gue ke toilet dulu.” Ucap Aileen berusaha terlihat biasa-biasa saja.
Aileen berjalan secepat mungkin menuju toilet terdekat dan masuk salah satu ruangan di sana. Setelah memastikan ruangan kosong, Aileen mengetikkan sesuatu di ponselnya.
“Akhirnya kamu telepon aku juga, Sayang. Jadi gimana? Kita jadi ketemu kan?”
“Ini di yang mau aku kasih tahu sama kamu.” Aileen berbicara selembut mungkin agar tidak melukai perasaan pacarnya.
“Are you okay, baby?” Aileen menghela nafas saat menyadari kalau dia harus berbohong kepada pacarnya. “I’m okay.” Jawab Aileen dengan suara meyakinkan.
Hening sementara di antara mereka. Aileen menatap pantulan dirinya di cermin sambil tersenyum penuh rasa bersalah. “Kamu jangan ke Jakarta ya. Nanti aku aja yang ke sana hari minggunya.” Terdengar helaan nafas dari seberang sana.
“Nic?” panggil Aileen merasa bersalah saat tidak ada sahutan apapun dari pacarnya.
“Aku enggak papa kok. Yaudah aku tutup dulu ya. I love you.”
“I--” Aileen menatap nanar panggilannya yang mati begitu saja.
Aileen semakin merasa bersalah kepada pacarnya. Kalau begitu, Aileen akan menyelesaikan masalahnya di sini dan menemui pacarnya setelah itu.
Lalu, Aileen menatap pantulan dirinya di cermin sebelum keluar dari toilet. Betapa terkejutnya Aileen saat menemukan Deka bersandar di samping pintu toilet.
“Deka!” seru Aileen terkejut.
Sementara itu, Deka malah menatap Aileen dengan khawatir. “Lo baik-baik aja kan? Gue takut kalau lo malah kenapa-kenapa.” Aileen tersenyum menatap Deka yang tampak tidak berbohong atas kekhawatirannya. Semua terlihat jelas melalui sorot mata milik Deka.
“Thanks udah peduli sama gue. Kalau bisa, boleh gak lo berhenti menatap gue kaya musuh. Gue tahu sulit buat lo tapi segalanya juga enggak mudah buat gue.” Ucap Aileen dengan menepuk bahu Deka setelahnya.
Deka masih berdiam diri menatap punggung Aileen yang perlahan mulai menjauh.
----
Kara menatap langit lewat balkon apartemen Deka. Sudah dua hari, Deka tidak pulang dan tidak bisa di hubungi. Kara juga sudah menghubungi para sahabat Deka tapi tidak satu pun yang merespons panggilannya.
Perasaan Kara terasa hampa dan kosong ketika tidak melihat Deka selama dua hari. Padahal Kara sudah hampir sebulan tidak bertemu dengan orang tuanya, tapi perasaannya tidak sampai sekosong sekarang.
Akhir-akhir ini Kara juga merasa tubuhnya terasa tidak nyaman dan kepalanya seperti penuh dengan banyak beban.
“Aku capek...” Keluh Kara entah pada siapa.
Kepala Kara mendongak menatap langit yang di penuhi oleh bintang-bintang malam. “Padahal ada kalian tapi aku tetap kesepian.” Kata Kara sembari tangannya menghitung jumlah bintang.
“Langit, aku lagi sedih.” Adu Kara.
“Semua sahabat aku menjauh dari aku. Sekarang pacar aku juga enggak tahu kabarnya di mana.”
Mata Kara berkedip-kedip lucu. “Pengen peluk kalian semua.” Ucap Kara pada semua bintang di langit.
Lalu tanpa terduga sama sekali, Kara mulai menunduk dan menangis, menumpahkan seluruh air matanya.
“Jangan tinggal-in aku sendirian!! Aku enggak mau sendirian.” Ucap Kara menangis tersedu-sedu.
Malam itu Langit menjadi satu-satunya saksi Kara menumpahkan seluruh air matanya. Perasaan sedih dan takut yang membelenggu, terkadang membuat seseorang kehilangan akal termasuk Kara.
Karena apapun yang di cintai secara berlebihan dengan cara yang salah tidak akan pernah membawa kebahagian.
Bahkan sampai Kara jatuh pingsan, tidak ada siapapun yang datang untuk menolongnya. Malam yang gelap dan dingin memeluk Kara dalam kerapuhan.
----
Deka berjalan dalam keadaan mengantuk, bahkan saling mengantuknya, Deka sampai salah berkali-kali dalam memasukkan nomor PIN-nya.
Pada percobaan kelima barulah Deka berhasil. Ruangan apartemen yang gelap dan sunyi menyambut kedatangan Deka.
“Kara..” panggil Deka.
“Kara!”
“KARA!!”
Sampai pada panggilan ketiga masih tidak ada sahutan apapun dari Kara. Hal itu tentu saja membuat Dek kebingungan sekaligus cemas di saat yang sama.
Kara tidak mungkin pergi ke sekolah karena masih terlalu pagi. Maka dari itu Deka memutuskan untuk mencari Kara di dalam kamar mereka.
Namun, kamar itu kosong tanpa satu pun penghuni membuat Deka semakin kebingungan. Bahkan Deka sudah mencari sampai ke dalam toilet, tapi Kara tetap tidak di temukan.
“KARA!!” panggil Deka sekali lagi tanpa adanya sahutan.
Kemudian Deka memilih opsi terakhir yaitu menelepon Kara. “Sial!!” umpat Deka saat handphone miliknya, yang terletak di saku belakang celana jeans terasa sangat sulit di ambil.
Deka memijit kepalanya yang pusing karena tidak tidur semalaman. “Bikin susah aja.” Kata Deka sambil mencari nomor telepon Kara.
Mata Deka mengerjap beberapa kali saat mendengar suara handphone Kara yang berasal tidak jauh darinya. Mata Deka membulat saat menyadari dari mana suara itu berasal.
Rasa kantuk Deka menghilang begitu saja dan tubuhnya sontak berlari ke arah balkon yang kebetulan berada tidak jauh darinya.
Brak!
Pintu balkon di dobrak begitu saja oleh Deka. Mata Deka kembali terbelalak saat menemukan Kara sudah tergeletak di lantai dengan wajah pucat dan bibir yang membiru.
“KARA!” Teriak Deka berlari menghampiri Kara.
“Bangun, Ra!!”
Deka menepuk kedua pipi Kara tapi tidak ada respon apapun yang di tunjukkan oleh Kara. Selanjutnya Deka mencoba mengecek denyut nadi Kara. Nadi Kara terasa lemah dan berdetak dengan lambat.
Ketakutan mulai menghantui kepala Dek. Sehingga secepat mungkin, Deka segara membawa Kara dalam gendongannya. Deka tidak bisa melukiskan seberapa khawatir dirinya saat ini.
Bahkan Deka sudah tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya penuh tanya. Hal yang paling penting sekarang adalah keselamatan Kara.
“Bertahan, Ra!! Aku mohon...”
----
Tinggalkan jejak kalian dengan
Vote, comen, dan follow.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Dreams (END)
Teen Fiction𝙆𝙖𝙬𝙖𝙣𝙖 𝙍𝙖𝙝𝙚𝙣𝙖𝙯𝙪𝙡𝙖, 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘢𝘥𝘪𝘴 𝘤𝘢𝘯𝘵𝘪𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘱𝘪 𝘤𝘩𝘶𝘣𝘣𝘺, 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘦𝘣𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘶𝘣𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘰𝘭𝘢𝘯 𝘑𝘢𝘺𝘢 𝘕𝘶𝘴𝘢, 𝙕𝙚𝙪𝙨𝙖𝙙𝙚𝙠�...