Bunyi keyboard laptop yang ditekan cepat terdengar nyaring memenuhi sebuah ruangan dengan cahaya temaram. Di hadapan laptop tersebut seorang pemuda nampak tengah serius memandang layar sambil sesekali mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Tepat pada akhir kalimat, ia menekan tombol enter kuat lalu memundurkan kursinya dan bersandar menatap langit-langit kamar.
Ia melepas kacamatanya, kemudian meraih ponsel yang sejak tadi berada dalam mode senyap untuk sekedar melihat jam.
Pukul 02.00 dini hari.
Pemuda itu, Arvie Jonathan lantas menutup laptop serta merapikan meja belajarnya. Ia memiliki kelas esok pagi.
"Hah! nasib punya kelompok dungu. Gue lagi, gue lagi yang jadi tumbal. Taiklah!" sambil menggerutu pelan dengan mata yang mulai meredup karena kantuk, Arvie berjalan terseok mendekati pintu balkonnya yang terbuka sedikit.
Ia berniat menutup pintu transparan tersebut dan menarik gordennya, sebelum manik matanya yang tinggal lima watt itu menangkap satu objek aneh di bawah sana.
Arvie mengerjap beberapa kali lalu berusaha menajamkan penglihatannya. Ia terbelakak melihat sesosok wanita berbaju putih dengan rambut menjuntai panjang yang tengah berdiri di depan sebuah rumah kosong tepat di seberang rumahnya.
Jantung Arvie berdegup kencang, masih enggan beranjak dan terus menelisik gerak-gerik sosok tersebut.
Posisi wanita itu yang membelakanginya membuat Arvie kesulitan melihat wajahnya, apalagi cahaya temaram serta jarak kamarnya yang berada di lantai dua menyusahkannya untuk sekedar mengetahui apakah sosok tersebut memiliki kaki atau tidak.
Tak lama, sebuah mobil nampak berhenti perlahan di samping wanita itu. Arvie semakin penasaran, hingga tanpa sadar kepalanya telah menyembul keluar dari celah pintu.
Seorang pria muncul dari dalam mobil kemudian menarik lengan wanita itu untuk masuk. Arvie hampir terjatuh saat wanita tersebut tiba-tiba saja berbalik padanya dan menatapnya tanpa ekspresi. Hal yang membuat kantuk Arvie seketika hilang. Ia bahkan tidak menyadari jika mobil yang membawa wanita misterius itu telah melaju pergi.
"Sialan, gue lihat apa?!"
Arvie bergidik ngeri.
*
"Arvie! Bangun, nak! Sarapan!""Vie! Aish, anak ini sudah tua masih saja harus dibangunkan!"
Seorang wanita berumur dengan apron pink di tubuhnya menerobos masuk ke dalam kamar sang putra sematawayang. Dilihatnya sang anak yang masih terpejam namun dengan bibir yang berkedut menahan senyum.
Ia sontak mengambil duduk di pinggir ranjang, tangannya mengusap halus kening pemuda itu lalu merambat menuju telinga dan menjewernya kuat.
"Ha! Aduh, Bu! Sakit-sakit."
Arvie mengaduh seraya menggosok telinga kirinya yang memerah.
"Cepat bangun, mandi dan sarapan. Kau bilang hari ini ada kelas pagi, mengapa jam segini belum siap-siap!" omel sang ibu tak habis pikir.
Arvie mengerang, kemudian bangkit dari kasurnya dengan tidak rela. Ia menyempatkan diri mencuri satu kecupan di pipi sang ibu, lalu berlari kencang menuju kamar mandi.
"Anak itu, kapan dia bisa benar-benar dewasa?" gumam sang ibu sambil menggosok-gosok pipinya yang menjadi korban kecupan bau sang anak.
Sesampainya di meja makan, seorang laki-laki tambun dengan kacamata bertengger di hidung nampak tengah menyeruput kopinya pelan seraya membaca koran berita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...