23. TRAGEDI YANG LALU

12 8 0
                                    

Sekarang sudah menunjukkan pukul 16.45. Agak sore memang, tapi mengingat acara yayasan yang semakin dekat jadi sekolah masih ramai tak seperti biasanya.

Begitupun dengan gadis yang duduk menyandar layaknya orang kelelahan habis bertani di bangku ujung lapangan basket. Sebenarnya sudah bisa pulang dari tadi, karena Sean masih ada niatan untuk mengantarnya. Tapi ntah kenapa temannya Lavanya ini belum juga kunjung pulang, dan malah menariknya ikut ke lapangan basket.

Di pandangan Annara saat ini, Lavanya sedang berbincang dengan Alvin. Ntah benda apa yang ada di tangan teman Annara ini, yang pasti ia memberikannya pada pria yang bersamanya itu.

"Thankyou untuk jaketnya, maaf balikin nya agak lama." setipis senyum, Lavanya pancarkan pada Alvin.

"Santai," tak banyak bicara, Alvin hanya mengangguk pelan.

"Langsung pulang?" menatap lekat pada Lavanya, Alvin bertanya ragu.

"Huh? Rencananya iya." agak kaget, tapi langsung ia netral kan kembali.

"Hmm, yaudah gua lanjut latihan lagi ya. Gaada urusan lagi kan?" ntah hanya perasaan, tapi di pandangan Lavanya, pria ini seperti tak nyaman berlama-lama berbicara padanya.

"Ahh iya, gaada." agak tergagap Lavanya menjawab, dan langsung pergi setelah Alvin kembali masuk ke lapangan.

Menghembus napas berat, sesekali ia usap pelan dada bidangnya, dan kembali berlari kecil menuju tengah lapangan.

Tepat setelah Alvin masuk ke lapangan, Jagadita yang menyaksikan dia berbicara dengan Lavanya tadi tersenyum menggoda.

"Ck, apaan sih?" Alvin yang berlari mendekat, berdecak sebal karena Jagadita yang menggoda nya barusan.

"Ra!!" terdengar sahutan dari seseorang, langsung membuat Annara terlonjak kaget.

Mungkin karena ia yang hampir saja tertidur karena kelelahan sehingga membuatnya tak sadar akan sekelilingnya. Jadi, spontan kaget saat dipanggil.

Lagi-lagi mau kaget, tapi mengingat tubuhnya tak mendukung, jadi hanya pupilnya saja yang mengecil. Annara tak tahu mau merespon apa saat melihat wajah orang ini, yang pasti ia kalang kabut sendiri.

"Sendiri?" Utama langsung menduduki dirinya di samping Annara. Annara berusaha menjaga jarak. Tapi lupa, bahwa kursi ini punya pembatas yang membuatnya tak bisa menjauh.

"Hmm." Annara hanya membalas dengan deheman.

"Ck, seandainya gua bisa tahu ini lebih cepat. Mungkin ga selama itu pula gua stress karena kehilangan lo, Ra." arah pandangannya lurus menatap anak basket yang sibuk bermain.

Annara melirik pada pria itu yang tinggi nya sudah dipastikan jauh melebihi dirinya. Annara menatap bingung akan maksud ucapan pria ini.

"Lo lupa ngabarin gua ya? Seharusnya lo kabarin gua, biar gua ga terus-terusan merasa bersalah kayak gini." Utama menyeringai prihatin menatap Annara.

"Maksud kakak?" Annara mengernyit, makin tak paham.

"Lo lupa tragedi 2 tahun lalu?"

Belum sempat membalas ucapan Utama, tangan Annara sudah lebih dulu ditarik menjauh dari pria itu. "Ikut gua."

Pria yang terpasang headband di kepalanya itu menggenggam erat tangan Annara, tanpa memikirkan apa reaksi dari Utama. Ia tak berhenti sedikitpun membawa Annara untuk makin menjauh dari pria itu.

"Awss." tak membiarkan Annara dibawa Jaendral, sekarang Utama menarik tangan Annara yang lainnya.

"Lo mau bawa dia kemana?" Utama menatap tajam Jaendral.

MARI AKHIRI INI (FUGACIOUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang