32. BAIKAN

6 6 0
                                    

"Ra, lo yakin gapapa?" pria bergingsul ini bertanya khawatir, tepat setelah berada di depan pagar rumah Annara.

Annara hanya merespon dengan anggukan, disertai tersenyum terpaksa pada Jagadita. Sebenarnya pria itu teramat khawatir saat ini. Bagaimana tidak? Karena kelalaiannya anak orang pulang dengan keadaan yang terbilang cukup memprihatinkan.

Ntah apa reaksi atau respon yang akan ditampakkan keluarga gadis itu, setelah melihat lehernya yang lebam seolah habis di cekik seseorang.

"Gapapa kok, Gad. Kamu pulang aja, aku udah baik-baik aja kok. Makasih ya udah anterin aku pulang," dengan nada yang terlalu pelan Annara meyakinkan Jagadita.

Mengingat cengkraman pada lehernya yang terlalu kuat itu, sontak membuat Annara sesekali sulit mengambil nafas, juga suaranya menjadi sangat parau dan memelan.

Terdiam beberapa detik hanya untuk menatapi Annara, pria itu langsung menghembus nafas sukar, dan langsung mengangguk.

"Gua pamit ya, Ra."

"Maaf, karena gua gabisa jagain lo," ucap Jagad dengan rasa bersalah, setelah mendapat anggukan dari Annara, ia langsung bergegas kembali menaiki motornya, setelah memasang helm pada kepalanya ia langsung pergi setelah kembali berpamitan pada Annara.

Annara tunggu hingga motor pria itu benar-benar hilang di telan jalanan, setelah tak terlihat lagi ia langsung melepas napas kasar, dan langsung berjongkok disana.

Berkali-kali nafasnya berhembus tak beraturan, sesekali ia memukul dadanya disertai menjambak rambutnya sendiri. Tak lama ia langsung berhenti melakukan kegiatannya itu dan langsung terisak dalam posisi yang sama.

Makin teringat akan ingatan itu, semakin keras isakannya, sekarang ia sudah meringkuk dengan suara yang sudah tak keluar sama sekali, tapi masih diiringi tubuhnya yang masih bergetar hebat. Mungkin karena efek cengkraman pada lehernya itu ataupun karena isakannya yang terbilang keras membuat suaranya perlahan menghilang.

"Kak? Ngapain duduk disini? Bukannya kakak bilang pulangnya kesorean?" Abrasha yang tampaknya sudah pulang bekerja mendapati putrinya di depan pagar bertanya kaget.

Mendengar suara ayahnya itu, perlahan Annara mengangkat wajahnya untuk menoleh pada pria paruh baya itu. Ntah efek apa yang diberikan oleh tatapan Annara, yang pastinya Abrasha langsung dibuat terbelalak setelah bersitatap dengan putrinya itu.

Bibir Annara bergetar menahan tangis, ekor matanya langsung meneteskan air mata. Menatap pilu, ia berujar lirih, "ayah...."

Abrasha mematung beberapa waktu, melihat wajah putrinya yang membengkak sehabis menangis, setelah menyadari putrinya terisak dengan suara yang serak ia langsung tersadar dan berjongkok menyamakan tinggi posisinya dengan Annara.

"Kenapa? Si-siapa yang ngelakuin ini? Siapa?"

"SIAPA?!"

Merangkup wajah putrinya, ia menatap penuh kekhawatiran, dengan bola mata yang sudah teramat merah. Tak dapat jawaban apapun dari putrinya, ia langsung meneriaki Annara.

Mendengar bentakan Abrasha, gadis itu sempat terdiam dibuatnya, dan berlanjut menggeleng beberapa kali.

"Ayah, kenapa?" Alisha yang mungkin mendengar teriakan Abrasha, berlari keluar untuk menyusul ayahnya itu.

Ia dapati Annara dalam pangkuan Abrasha, Alisha menatap bingung, dengan berbagai pertanyaan terlintas di benaknya. Apalagi yang dialami adiknya ini sekarang?

Abrasha membantu Annara untuk berdiri, membawa putrinya itu masuk ke dalam rumah. Setelah Annara berdiri, tanpa sengaja Alisha terkejut melihat pada leher adiknya yang sudah membengkak kemerahan itu.

MARI AKHIRI INI (FUGACIOUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang