37

2.9K 396 45
                                    

"Berapa lama sih, Yong, pengerjaan filmnya?"

"Tergantung, kalo lancar, ya, cepet, kalo nggak, ya, lama. Kalo dospem suruh ngulang scene, ya, ulang. Pokoknya tar terakhiran kita syuting di rumah Gazza, sekalian refreshing juga."

"Jadi ke rumah Gazza?"

Rion mengangguk. "Ayah udah janji izinin aku pergi, Bunda gak bisa larang lagi," katanya, dengan nada sedikit sensi, mengira Lena akan melarang.

"Bunda gak akan larang, asal kamu sehat-sehat aja. Oh iya, besok ke kampus, kan? Langsung pulang, ya, jangan ke mana-mana dulu," titah Lena.

Rion yang berbaring dengan mata sayu karena demam dari semalam, sedang memaksakan diri untuk melihat handphone, membalas pesan teman-temannya di group.

"Gak bisa lah, Bun, dari kemarin kita udah gak ketemu. Kalo ada scene yang harus diulang, rencananya kita langsung kerjain di hari itu juga. Kalo nggak gitu, makin lama tar film kita beresnya."

Lena ingin melarang, tapi rasanya akan percuma, Rion tidak akan menurut kepadanya. Nanti saja nunggu Bilal, biar putranya itu yang menghadapi ke-keras kepalaan Rion.

"Bun, Kakak udah kasih tahu belom cewek apa cowok?" tanya Rion, tiba-tiba menanyakan tentang Erlin yang hari ini kontrol ke rumah sakit dengan Rafli, dan di usia kehamilannya yang sudah menginjak 20 minggu itu, dia sudah bisa melihat jenis kelamin bayinya.

Lena menggeleng. "Belom, bunda tanyain juga gak jawab."

Rion mendecak. "Sok-sokan dirahasiain. Aku tanyain Bang Rafli, ah," katanya.

"Nanti aja, Yong. Gak sabar banget pengen tahu."

Rion melirik Lena. Iya, memang, dia sangat tidak sabar ingin tahu keponakannya cewek atau cowok, soalnya kalau cewek, pasti akan dijadikan 'princess' kesayangannya Rion, tapi kalau cowok, nakal dikit, dia musuhin.

"Bunda maunya cewek atau cowok?" tanya Rion.

"Apa aja bunda mah, mau cewek atau cowok tetep bakal jadi cucu kesayangan bunda kok," sahut Lena.

"Aku maunya keponakan cewek, gak mau kalo cowok," ungkap Rion.

Kedua bola mata Lena melebar.

"Lho, gak bisa dipengen-pengenin gitu lah. Harus tetep sayang mau cewek ataupun cowok."

"Gak mau, males tar kalo cowok, nakal kek Qai sama Jun."

Bibir Lena menipis. "Kayak kamu kali," katanya.

"Hm? Kapan aku nakal? Sembarangan banget, Bunda."

Kedua alis Lena terangkat, menatap  putranya yang berani-beraninya menyangkal.

Rion tersenyum. Tidak mengakui dengan kata, tapi dia mengakui dengan senyumannya itu.

"Minum yang banyak coba, Yong, itu bibir kering gitu."

Rion meraba bibirnya kemudian perlahan bangun, mengenyahkan selimut yang tidak lepas dari tubuh meriangnya sejak semalam--sekarang sudah tidak terlalu.

"Mana aernya," katanya. Dibenarkannya letak nasal kanul yang jadi miring akibat pergerakannya.

"Pakein plester lagi, biar diem," seru Lena sembari mengulurkan sebotol air.

Setelah meneguk minum, Rion terdiam, merasa-rasakan napasnya. Sekarang dia bisa merasakan kapan waktu tubuhnya butuh bantuan oksigen hanya dengan merasa-rasakan napas--tidak harus diukur pakai oxymetri.

"Mana plesternya?" tanya Rion, merasa dirinya belum bisa lepas dari nasal kanul.

Lena mengambil plester khusus itu dari dalam laci, mengguntingnya sesuai kebutuhan lalu memberikannya kepada Rion.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang