93

2.7K 374 50
                                    

Undangan untuk sidang sarjana sudah Rion dapat, jadwal sidangnya tepat tujuh hari dari hari ini. Dilaksanakan dalam waktu dua hari; hari pertama pemutaran film di aula besar fakultas dengan dihadiri oleh orang-orang yang ahli di bidangnya--bidang film tentunya. Kemudian di hari kedua baru ujian sidang dengan dosen penguji, yang dibagi menjadi empat sesi, sesuai dengan jumlah mahasiswa dan perannya masing-masing dalam film yang mereka buat.

Hari ini Adam, Yuzi, dan Gazza datang ke rumah Rion untuk memberi semangat, sekaligus berdiskusi tentang persiapan pemutaran film nanti, dimana mereka akan mempresentasikan di hadapan Kepala Prodi dan orang-orang yang ahli dalam bidang karya tersebut.

Namun, alih-alih ikut aktif berdiskusi, sejak beberapa menit diskusi dimulai Rion lebih sibuk mengatur napasnya sendiri. Rasa sesak yang berlebih selalu datang tiba-tiba, dan itu terjadi sejak kemarin. Tapi, hasil pemeriksaan rumah sakit lusa kemarin dinyatakan cukup baik--tidak ada yang memburuk.

"Boleh panggil kakak gue dulu, gak?"

Adam, Yuzi, dan Gazza seketika menoleh kepada Rion.

Yuzi langsung bangkit. Keluarga kecil kakak Rion tadi sedang bermain di teras depan.

"Sesek banget, Yong?" tanya Adam, pandangnya menyorotkan penuh kekhawatiran.

Rion mengangguk. "Maaf, ya," ucapnya sambil berusaha menguasai sesak agar tidak tampak terlalu mengkhawatirkan di depan kawan-kawannya.

"Santai, Yong, gak pa-pa," kata Gazza sembari diusapnya lengan Rion.

Rion sudah tidak bisa fokus, kepalanya jadi pening. Pandangan matanya tertuju lurus ke bawah--ke arah kakinya. Jantungnya berdebar-debar.

Gazza terus mengusap-usap lengan Rion, memandang khawatir dengan hati yang lagi-lagi menghelas.

"Jangan ngelamun, Yong," ucap Adam sambil kemudian memijat kaki Rion yang berbalut selimut.

Rion memang diam tanpa berkedip, berusaha untuk menjaga kesadaran.

Yuzi kembali masuk ke ruangan, bersama dengan Erlin, diikuti Rafli yang menggendong Altair, serta Lena dengan raut wajah super cemasnya.

Gazza dan Adam mundur, mempersilahkan Erlin untuk mendekati Rion.

Erlin menarik satu bantal yang menyangga duduk Rion, menjadikan Rion sepenuhnya berbaring pada tumpukan bantal.

Erlin memeriksa kadar oksigen dan menawarkan kepada Rion, apa mau diganti alat bantu napasnya? Agar kecepatan laju oksigen bisa lebih tinggi.

Rion mengangguk, tidak ingin menyangkal karena dia butuh asupan oksigen lebih dari yang bisa nasal kanul berikan.

Setelah Erlin selesai mengganti nasal kanul dengan masker oksigen, matanya kemudian menoleh ke arah kawan-kawan Rion.

"Adam, Yuzi, Gazza, maaf ya, kayaknya Iyong butuh istirahat," kata Erlin, bukan maksudnya mengusir, dia bicara pun dengan lembut dan dengan nada tidak enak hati. Rion butuh istirahat, yang benar-benar istirahat, soalnya detak jantung Rion agak tinggi, dan itu bisa jadi penyebab sesaknya bertambah.

"Kalo gitu, Kak, Tante, kita pamit pulang aja," ucap Adam.

"Makan dulu, ya. Kalian udah jauh-jauh ke sini," ujar Lena, yang juga jadi merasa tidak enak hati kepada tiga pemuda yang baru datang belum ada tiga puluh menit itu.

"Gak usah, Tante, gak pa-pa, nanti kita ke sini lagi kalo Iyong-Nya udah baikan. Atau nanti ketemu di kampus ya, Yong," ucap Adam sambil menyentuh kaki Rion.

"Makan dulu, jangan dulu balik," Rion berkata dengan suara yang lemas dan sangat pelan.

Matanya memandang dengan lebih sayu.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang