Hardian mengajak teman-teman Rion untuk makan bersama di rumahnya malam besok setelah proses sidang Rion dan kawan-kawan selesai. Tadinya Hardian mau traktir makan sekarang, tapi sepertinya mereka harus segera pulang agar Rion bisa istirahat, aktifitas yang tidak seberapa itu tampaknya begitu melelahkan untuk putranya.
Rion bersalaman dengan teman-temannya sembari mengucap terimakasih kemudian di parkiran depan gedung auditorium itu mereka berpisah. Mungkin beberapa dari mereka besok akan datang juga atau malah temannya yang hari ini tidak datang, besok akan datang untuk memberikan dukungan, sekaligus melihat Rion yang pasti sudah ramai dibicarakan oleh teman-temannya yang tadi datang, tapi yasudahlah, mungkin dengan itu Rion akan sepenuhnya bisa menerima kondisinya yang sekarang karena sudah tidak ada lagi yang harus ditutupi dari orang-orang tertentu, semua akan tahu, apalagi tadi ada dokumentasi, foto Rion yang duduk di kursi roda dengan nasal kanul melintang di bawah hidung pasti akan tersebar.
"Tadi dosen-dosennya pada muji-muji, terus mahasiswi-mahasiswi di belakang tuh, adek tingkat kamu, ya? Pada ngegossip, katanya walopun sakit tetep cakep banget Kak Iyong mah."
"Apa sih, Bunda. Ngarang sendiri. Orang pasti pada kasian. Dulunya keren, sekarang begini," kata Rion, menanggapi celotehan Lena. Pandangnya tertuju pada jalanan.
"Hih, gak percaya. Tanya aja Ayah."
"Iya, Yong. Ayah juga denger mereka muji-muji," ungkap Hardian yang duduk di samping kemudi. Dalam perjalanan pulang ini yang mengemudi adalah Bilal.
Rion tidak menanggapi lagi obrolan kedua orang tuanya, tiba-tiba suasana hatinya menjadi tidak baik. Padahal tadi sebenarnya suasana hatinya sangat baik, dia sungguh bahagia karena ternyata acara hari ini berjalan dengan lancar--tidak banyak kendala seperti yang dibayangkan, malah berakhir dengan sangat sempurna; respon audiens bagus, dosen-dosen juga sampai memberikan standing applause. Film mereka mendapat apresiasi yang sangat baik, jelas saja orang pernah menjadi juara favorit di lomba yang cukup bergengsi, suatu pencapaian yang harusnya bisa dikembangkan lagi.
'Dikembangkan lagi', semakin dipikir mengenai potensi besar mereka yang mungkin saja bisa menjadi tim sempurna dalam pembuatan film. Tiba-tiba Rion memiliki impian, bersama dengan teman-temannya dia ingin membuat sebuah film yang lebih baik dan dikerjakan dengan lebih serius, sekalipun harus ke luar negeri untuk mengambil sebuah scene, Rion janji tidak akan mengomel. Tapi, semuanya terasa tidak mungkin. Sekarang semudah bernafas dengan normal saja Rion tidak mampu, apalagi mengejar impian.
Suasana hati Rion menjadi buruk mengingat ketidakmampuannya, ditambah dengan segala dampak dari penyakitnya yang tidak pernah absen--selalu hadir untuk dia rasakan. Beberapa menit mobil meninggalkan kampus, Rion batuk-batuk, sungguh tidak nyaman, membuat rasa sesaknya semakin terasa.
Mobil akhirnya berhenti di sebuah rest area SPBU. Di dalam mobil Rion mendapatkan penanganan terapi nebulizer dan tepukan di area dada juga punggung, yang dilakukan oleh Bilal agar lendir yang memenuhi saluran napasnya bisa rontok.
Rion tidak mengeluarkan suara, dia hanya diam dan mengikuti intruksi dari abangnya. Rasa marahnya sedang bergumul.
"Bunda sama Ayah beli makan dulu, ya. Abang mau makan apa?" tanya Lena.
Ada sebuah restoran di tempat pengisian bahan bakar itu.
"Apa aja, Bun," sahut Bilal.
Lena dan Hardian kemudian keluar dari mobil.
"Gue benci kayak gini."
Rion bersuara. Dia dalam posisi memunggungi Bilal, memegang banyak lembar tisu untuk menampung dahak yang dikeluarkan melalui batuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.