98

2.4K 387 116
                                    

Para orang dewasa memasuki ruangan yang dihuni tiga bocah; satu bocah dewasa, satu bocah sedang, satu lagi bocah kecil. Hardian mengangkat si bocah kecil yang tidur, akan memindahkannya.

"Qai, ke atas ayok," ajak Hardian.

"Hm?"

Qaisar yang sedang memainkan ponsel, mendongak.

"Ayok, Qai," sekarang Rafli yang mengajak, "ajak main Altair di atas."

Qaisar paham bahwa ini adalah pengusiran secara halus. Dia bangkit tanpa banyak tanya, mengikuti ayah dan abang iparnya keluar dari ruangan.

Lena duduk di samping Rion, tepat sekali di sampingnya, tanpa ada jarak. Tangan panjangnya merangkul bahu Rion, mengusap-usap lengan atasnya.

"Apa?" tanya Rion.

Ada Erlin yang duduk di ujung kasur, menatapnya dengan lembut.

"Ada yang mau diomongin, ya? Tentang apa?" Rion menuntut jawaban, merasa janggal dengan situasi seperti ini.

Bukannya menyahut, Lena malah mengecup kepala Rion.

"Wangi banget rambutnya," kata Lena.

Rion mendecak. "Gak usah basa-basi, Bun, mau ngomongin apa?" desaknya, tidak sabar.

"Abang gak pulang lagi hari ini," ungkap Lena sembari menempelkan pelipis kepada kepala Rion. Rambut kecoklatan milik putranya itu memang beneran wangi, tadi pagi baru dikeramas.

"Iya. Kenapa tuh? Gak mau ngurusin aku lagi?"

"Su'udzon terus," seru Erlin, tapi dengan nada bicara yang halus sambil memegang kaki Rion, merematnya lembut.

Rion melirik kakaknya dengan tatap runcing dan kening mengerut.

"Abang ngerasa bersalah sama kamu."

"Hm? Apa?"

Rion menoleh kepada bundanya yang berucap dengan suara sangat pelan.

Lena mengeratkan rangkulannya sampai tubuh Rion tertarik, menempel dengan Sang Bunda jadinya.

"Apa, Bun? Aneh banget. Apa? Kenapa?" tanya Rion, mendesak, sembari menarik tubuhnya agar tidak terlalu menempel dengan Lena, kesal, kenapa pada gak jelas.

"Lo juga gak berguna ada di sini, Kak, bukannya bantuin Bunda ngomong!" kesal Rion kepada Erlin.

"Ssstt, gak boleh kasar gitu ngomongnya," tegur Lena.

"Abisnya pada gak jelas."

Lena kembali mengusap-usap lengan atas Rion, bermaksud menenangkan.

"Jangan marah-marah terus sama Abang, sama Kakak, sama adek-adeknya. Semuanya sayang sama Iyong tahu," ucap Lena.

Mendengarnya Rion otomatis mendesah kasar. "Bunda basa-basi mulu. Tadi ngomong apa?! Abang kenapa gak pulang lagi?! ... Ya, jelas lah aku marah-marah, orang kaliannya gak jelas. Uhukk--"

"Tuh, kan, jangan banyak ngomong, apalagi marah-marah," kata Erlin.

Lena menegakan duduk Rion, mengusap-usap punggungnya.

Erlin juga mendekat, memegang tangan Rion.

Rion dalam posisi menunduk, mengatur napas yang jadi tersengal. Tapi batuknya berhenti, tadi hanya karena terlalu menggebu, jadinya tersedak ludah sendiri.

Erlin mengecek saturasi oksigen adiknya dengan oximeter. Memastikan bawa asupan tambahan oksigen mencukupi yang Rion butuhkan.

"Tuh, kalo marah-marah detak jantungnya jadi tinggi, napasnya jadi cepet, nambah sesek, kan?" kata Erlin, nada bicaranya tetap lembut, penuh kesabaran, tidak mencerminkan seorang Erlin.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang