"Res, tarik napas dalem dulu, embusin perlahan, tenang."
Bilal tidak peduli, dia menarik tangan yang dicekal oleh partner jaga-nya itu.
Tapi tangannya tidak dibiarkan lepas.
Dua orang dengan seragam khas dokter jaga IGD itu sedang berada di area pintu keluar yang biasa dipakai untuk membawa pasien berpindah ke ICU ataupun ruang rawat inap. Di sana sepi, tidak tampak akan ada yang lewat.
"Lo mau tensi lo tinggi terus? Gue yakin kalo kayak gini terus lo gak akan bisa donorin hati lo. Apa lo lupa syarat jadi pendonor itu bukan hanya kesehatan fisik yang stabil, tapi psikis juga?"
Tangan kiri Bilal yang tidak dicekal terkepal kuat. Tentu dia tidak lupa karena itu lah faktor yang sedang menghambatnya untuk melanjutkan tes pemeriksaan kecocokan organ hati; stress yang menyebabkan tekanan darahnya naik dan kondisi psikisnya dianggap sedang tidak stabil. Dokter Hafidz sendiri yang menyuruh Bilal untuk menenangkan diri dan menurunkan tekanan darahnya terlebih dulu.
"Adek lo udah buka mata lagi, Res, perlahan kesadarannya bakal balik normal. Tenang, kontrol diri lo."
Bilal langsung menoleh, menatap orang di belakangnya dengan sorot mata yang menyiratkan segala bentuk emosi.
"Kondisi Adek gue gak baik! Lo tahu, tadi pagi dia masih baik-baik aja, gak ada tanda-tanda Ensefalopati. Secepet itu progres penyakitnya! Gimana kalo kondisinya ini disebabkan sama fungsi ginjalnya yang udah kena dampak--"
"Res, udah! Tenang! Lo kejauhan! Kalopun iya penurunan kesadaran Adek lo karena Ensefalopati, itu Ensefalopati Hepatik, itu, kan, yang biasa terjadi sama pasien gangguan organ hati? Lo jangan mikir ke ginjal dulu. Lo udah sering nanganin pasien yang dalam kondisi sama, bahkan jauh lebih parah. Tenang, Dokter Farees. Gue tahu lo panik karena ini adek lo. Tapi kalo lo mau ikut ngobatin adek lo, lo harus berperan sebagai dokter, jangan rusuh diagnosis yang nggak-nggak tanpa ada pemeriksaan terlebih dulu. Anggap adek lo itu pasien biasa yang setiap hari selalu bisa lo tanganin. Dan satu lagi, Adek lo udah sadar, Alhamdulillah kondisinya gak sampe tingkat koma. InsyaAllah dia baik-baik aja, ada dokter jaga bangsal sama dokter spesialis yang tanganin dia di sana."
Tangan Bilal yang dicekal akhirnya melemas, tidak lagi tampak mengeluarkan tenaga agar bisa lepas dari cekalan.
"Gimana? Lo masih mau pergi ke ruangan adek lo sekarang? Atau masuk lagi ke IGD karena banyak pasien yang lagi butuh kita, butuh lo. Ibu lo aja masih ada di dalem."
Bilal menatap dengan sorot mata yang kini hanya tinggal menyiratkan emosi takut dan cemas.
"Menurut lo, Adek gue bakal baik-baik aja, kan?" tanyanya.
Bilal tidak terlihat seperti orang yang dikenal sebagai Dokter Farees.
Partner jaga-nya mengangguk.
"Kalopun lo ke sana, gue gak yakin lo bisa banyak bantu, otak lo bakalan kosong," ucapnya.
Untung saja Partner jaga-nya itu berpengalaman ada di posisi Bilal, jadi dia sangat mengerti, tidak meremehkan atau memanfaatkan kekacauan Bilal.
Pandangan Bilal kosong, ya, memang begitu pun isi kepalanya. Beberapa menit lalu saat melihat Sang Bunda dibawa ke IGD dan mendengar penyebabnya, pikirannya seketika jadi kacau.
"Kalo lo mau balik ke dalem, pastiin ke toilet dulu, setting ulang isi kepala lo yang lagi kacau itu ke setelan tugas, supaya bisa fokus ke pasien-pasien. Lo dipercaya sebagai Dokter yang paling kompeten, jangan sampe orang liat sisi lo yang ilang kontrol kayak gini."
Partner jaga yang paling dekat dengan Bilal itu menepuk-nepuk lengan atasnya sebelum kembali duluan ke dalam IGD.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.