Hardian dan Bilal berada di rumah, sedang berkumpul di ruang tamu bersama Lena dan Erlin, sementara Rafli tidak ada di sana, dia sedang mengantarkan orang tuanya ke Bandara.
Lena memangku cucunya, menimang-nimang karena tiba-tiba si bayi rewel, dan ibunya sedang tidak dalam kondisi suasana hati yang baik untuk bisa menenangkan si bayi, entah telah ada konflik apa dengan Rafli. Padahal tadi terlihat baik-baik saja, tapi tiba-tiba putri sulungnya itu melontarkan keinginan yang membuat Lena kaget.
Hardian bangkit.
"Bun," panggilnya sembari mendekati Lena yang berdiri.
Lena memberikan Altair kepada Hardian. Lalu mengayunkan langkah kemudian duduk di samping Erlin yang hanya menatap datar ke atas lantai. Dirangkulnya bahu si sulungnya itu.
Sejak beberapa menit yang lalu mereka hanya saling diam menunggu yang bersangkutan bicara, tapi ternyata tidak kunjung bersuara. Mungkin harus dengan giringan sentuhan Bunda.
"Kenapa, Kak? Seberapa besar sih kesalahan Bang Rafli sampe Kakak kayak gini?" tanya Lena sambil mengusap-usap pundak putrinya yang sejak tadi hanya diam menatap lantai. Kemudian Erlin perlahan bergerak, menenggelamkan wajah ke dalam celuk leher Lena lalu mengeluarkan isak.
Bilal yang sudah tahu permasalahannya hanya diam. Sebenarnya Erlin hanya menelepon Bilal, tapi Bilal pikir untuk permasalahan ini harus dibicarakan juga dengan kedua orang tuanya. Lena sebenarnya ada di rumah, tapi tidak tahu apa-apa karena dari semalam pun tidak ada yang janggal dengan suasana rumah.
"Maaf, masalahnya jadi rumit gara-gara aku, Bun, Yah," Bilal bersuara.
Lena dan Hardian otomatis menoleh kepada putra tertua mereka, yang tiba-tiba melontarkan pengakuan, yang membuat mereka jadi semakin bingung.
Ada apa sampai Bilal terlibat?
"Abang tahu masalahnya? Yaudah, Abang yang cerita," kata Hardian. Tadi sepanjang jalan di dalam mobil Bilal hanya diam fokus menyetir dengan raut gelisah yang tersembunyi di garis wajah seriusnya, membuat Hardian ragu untuk bertanya. Hardian meninggalkan Rion dan ikut pulang ke rumah bersama dengan Bilal sebenarnya tanpa alasan yang jelas, Bilal hanya meminta Hardian untuk ikut pulang sebentar karena ada masalah di rumah. Dan Hardian baru tahu masalahnya setelah sampai rumah, ternyata bersangkutan dengan si putri sulung. Saat dia dan Bilal sampai, Erlin sudah duduk di sofa bersama dengan Lena yang sedang menuntut alasan dari keputusan janggal putrinya yang secara tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan dengan Rafli.
Bilal memandangi Erlin.
"Maaf, Er," ucapnya dengan nada sendu.
"Lo gak salah, Bi, gak ada salah," balas Erlin, baru bersuara, suaranya sangat pelan dan tercekat isak.
Erlin kemudian mengangkat kepala dari pundak Sang Bunda.
"Pelan-pelan aja ceritanya," ucap Lena sembari merangkul dan mengusap-usap bahu putrinya. Sejujurnya, tubuhnya sedang lemas karena mendengar Erlin yang tiba-tiba ingin selesai dengan Rafli. Permasalahannya pasti besar sampai Erlin memutuskan begitu. Lena merasa tidak berguna karena tidak tahu apa-apa. Namun, apa pun itu, bagaimana pun Lena harus tetap tegar. Sebagai salah satu orang tua dia yang harus membantu meluruskan dan jika bisa, juga membantu menyelamatkan apa yang hendak hancur.
Erlin menatap Lena dengan air mata yang masih berbondong-bondong turun dari sudut matanya.
"Bun, kita cari orang lain yang bisa kasih donor hati ke Iyong, ya. Jangan Rafli. Aku gak mau ada hubungan lagi sama Rafli, sama keluarganya."
Lena dan Hardian terkesiap dalam diam. Keduanya otomatis menegun dengan tatap yang perlahan melebar tanpa kedip. Entah masalah besar apa yang mendasari sampai membuat Erlin memilih untuk mengesampingkan Rion, tapi Hardian dan Lena tidak bisa mendesak untuk hal itu di waktu sekarang ini karena yang harus menjadi fokus mereka di detik ini adalah Erlin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
Ficción General**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.