Adam, Yuzi, dan Gazza ke rumah Rion tadinya untuk mendiskusikan lebih lanjut tentang karya film yang akan mereka buat, sekalian beresin revisi naskah dari dosen pembimbing kemarin. Tapi, ternyata tidak enak badan yang Rion rasakan di sore kemarin jadi keterusan.
Rion hanya membuka mata sebentar saat mereka datang. Dia terbaring dengan posisi tubuh menghadap samping. Selimut menyelimuti tubuhnya sampai leher. Ada tiang infus pendek dengan selang kecil bening yang masuk ke dalam selimut--tempat tangan Rion tersembunyi, dan nasal kanul tersemat di hidungnya dengan perekat di kedua sisi pipi.
Adam, Yuzi, dan Gazza duduk canggung. Ada rasa takut yang menyusup di hati. Belum lama didiagnosis penyakit yang tidak sepenuhnya mereka mengerti, kondisi temannya itu sudah berubah banyak, terutama di kondisi fisik yang kentara. Dosen pembimbing kemarin saja terlihat kaget saat melihat sosok Rion yang sekarang, bukan hanya karena tubuh kurusnya, tapi juga karena kulit yang nampak ke-kuningan dan mata yang ikut bersemu kuning.
"Yong," panggil Yuzi sembari menaruh tangan di lengan Rion yang tertutup selimut.
Rion merespons dengan mengeluarkan gumaman sangat pelan.
"Minum sedikit, ya."
Yuzi membaca basmalah, menyelipkan sedotan yang masuk ke dalam gelas berisi air hangat yang baru saja dia bacakan bacaan do'a singkat yang penuh pengharapan dan tulus dari dalam hati.
Rion menyedotnya sedikit tanpa membuka mata.
Hanya batuk yang sesekali keluar dari mulut kering yang sedikit terbuka itu, tak ada sepatah kata pun yang mampu terucap.
-
"Makasih ya, udah ngertiin kondisi Iyong. Padahal kalian bisa lanjut bertiga. Keadaan Iyong sekarang begini, nggak kayak dulu lagi."
"Kita tungguin Iyong baikan, Tan. Gak pa-pa lulus tahun depan juga, yang penting bareng-bareng," kata Gazza.
Adam menunduk, memandangi lantai teras depan rumah Rion.
Lena tersenyum sedih, dia tidak bisa menahan air mata di hadapan tiga pemuda itu.
"Makasih, ya. Semoga Iyong-nya cepet baikan," ucap Lena setelah menghapus satu tetes air mata yang lolos menuruni pipi.
"Sabar, ya, Tan, Allah lagi kasih cobaan," seru Yuzi.
Lena mengangguk, bibirnya tersenyum.
Adam menepuk punggung Gazza.
"Kalo gitu kita pulang, ya, Tan," pamit Gazza.
"Iya. Hati-hati di jalannya, ya. Jangan pada ngebut-ngebut bawa motornya."
Adam, Yuzi, dan Gazza menyalami tangan lembut bunda-nya Rion itu.
Adam bisa menangis kalau lama-lama berada di sana. Walaupun berandal look, gitu-gitu dia paling tidak bisa melihat air mata seorang ibu.
--
"Yong, napas."
"Iyongg... "
Dada itu kembali bergerak.
Gerakan menarik dan mengembuskan napas kembali terlihat.
Lena mengembuskan napas lega. Tangannya lalu mengusap pipi yang sebelumnya dia tepuk-tepuk itu untuk menyadarkan si pemilik pipi yang tengah terpejam dengan masker oksigen yang menutup bagian hidung dan mulutnya.
Rion tidak tidur, kelopak matanya sesekali terangkat walaupun hanya sedikit dan tampak gemetar. Gerakan napasnya beberapa kali berhenti. Monitor pasien berbunyi saat frekuensi napas menurun. Lena diamanati oleh Bilal untuk memastikan Rion tetap menarik napas dan mengembuskannya dengan semestinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.