30

3.5K 431 62
                                    

"Er, jangan lo elus rambutnya nanti dia bangun."

Erlin menarik tangannya dan kembali duduk di ranjang lipat yang berada di tengah.

Bilal, Erlin, dan Rion satu tenda. Hardian pindah ke tenda sebelah, agar per-tenda setidaknya ada satu lelaki dewasa.

"Bi, selama ini kita-kita ngejar apa sih? Sampe se-cuek itu satu sama lain? Semuanya berawal dari gue, ya, Bi?"

Erlin melirik Bilal, adik pertamanya. Lampu yang menyala di dalam tenda tinggal lampu kecil, cahayanya temaram, wajah Bilal yang dalam posisi berbaring jadi tidak nampak dengan jelas.

"Nggak. Gue juga ambis dari kecil, gak kepikiran buat akrab sama lo."

Erlin terkekeh na'as. "Jadi, berawal dari kita berdua?" tanyanya.

Bilal mengayunkan kepala. "Kayaknya. Soalnya setahu gue Iyong gak se-cuek itu, pas kecil dia ada kemauan buat deket, dia suka nungguin gue balik bimbel, tapi, ya... gue gak pernah tertarik buat maen."

"Prik, ya, kita berdua?" timpal Erlin.

Bilal menarik samar kedua sudut bibir. Sekarang hatinya seringkali merasa bersalah ketika mengingat masa itu.

"Terus gimana, Bi?"

Bilal menoleh. "Apa?" tanyanya.

"Iyong. Menurut gue, kita omongin bareng-bareng dulu aja sama Bunda sama Ayah. Siapa tahu Iyong bisa ngerasa lebih baik, setelah itu baru gue bantu temuin dia sama psikolog yang waktu itu bantuin gue juga," tutur Erlin.

"Iya, gue juga mikir gitu."

Bilal kembali menatap ke ujung langit-langit tenda yang berwarna mocca itu.

"Apa lo juga punya sesuatu yang lo simpen sendiri dalem hati, Bi? Keresahan lo gitu? Kayaknya lo gak pernah ngeluh, dan kayaknya gak mungkin lo gak punya sesuatu buat lo keluhin. Gue tahu se-capek apa kerjaan lo. Jangan sampe lo simpen sendiri dan berakhir kayak gue."

Bola matanya masih setia tertuju ke ujung tenda. Capek itu biasa. Bilal tidak akan berbohong jika ditanya capek atau nggak jadi dokter jaga IGD dan segala macemnya itu? Capek, capek banget. Tapi, rasa capeknya itu selalu hilang setelah melihat pasien terselamatkan. Apalagi setelah melihat pasien yang masuk IGD dalam kondisi kritis dan beberapa lama kemudian dia melihatnya lagi sedang kontrol ke poliklinik dengan kondisi yang sudah jauh lebih baik. Tidak ada capek yang berarti untuknya, dia menikmatinya.

"Nggak sih. Gue baik-baik aja," seru Bilal.

"Lo bisa cerita sama gue, Bi, kalo ada yang lo simpen dalem hati. Gak terlambat, kan, Bi, kalo gue mau memperbaiki hubungan kita semua sebagai saudara?"

Bilal menggeleng. "Kita berdua yang harus bertanggung jawab nyatuin hubungan adek-adek kita yang saling cuek itu."

"Tapi gimana caranya, ya?" tanya Erlin.

"Gue juga gak tahu." Bilal terkekeh sembari melirik Erlin.

Erlin juga terkekeh, diiringi helaan napas.

"Bego banget dah kita. Kita itu gak ada yang bakat kompak-kompakan."

Sampai kantuk datang, tidak ada cara yang muncul di pikiran kedua saudara tertua itu. Gak ada bakat memang.

--
--

"Bang, gue disuruh Bunda manggil lo sarapan. Enak tahu, bubur ayam jamur buatannya Mama Lala."

"Iya."

Setelah mendengar sahutan singkat itu, Qaisar menarik kepalanya dari pintu tenda dan langsung pergi. Dia hanya diberi tugas untuk menyuruh Rion sarapan, selebihnya abangnya itu sarapan atau tidak, bukan urusannya.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang