36

2.7K 398 42
                                    

Rion menggerak-gerakkan kepala.

Ada yang aneh, alas kepalanya tidak se-empuk biasanya.

Dengan malas akhirnya dia mengangkat sedikit kelopak mata untuk memastikan apa yang membuatnya tak kunjung menemukan letak lemak di perut yang biasa menjadi bantal tidurnya kalau sudah lewat tengah malam.

Kelopak matanya berkedip-kedip, melirik ke arah kepala si pemilik perut yang dia tiduri.

Cahaya lampu temaram menyinari wajah itu.

Mata itu sedang terbuka juga, menatap Rion yang menidurkan kepala di atas bagian tubuhnya. Tampaknya Bilal terbangun karena Rion menggerak-gerakkan kepala di atas perutnya. Tapi tunggu... saat tidur tadi perasaan sang ayah yang ada di sampingnya, ya, seperti biasanya, terus kenapa sekarang jadi abangnya?

"Ayah mana?" tanya Rion dengan suara serak yang menggumam. Setelah hanya beradu tatap, akhirnya kesadarannya lumayan terkumpul.

"Di kamar, tidur sama Bunda."

Rion bangun, terduduk, mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan yang cukup gelap.

"Perut lo keras, gak enak, gak kayak perut Ayah."

Pemuda itu bergumam sembari menidurkan kepala di atas bantalnya. Kening Bilal mengernyit. Ya, bagusan perutnya yang keras dong; sixpack. Lagian, fungsi perut itu bukan buat jadi bantal, ngapain harus empuk.

Rion kembali mendengkur halus. Batuk sesekali mengguncang tubuhnya, tapi tidak sampai membuatnya terbangun.

Bilal pun kembali memejamkan mata. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi adiknya, walaupun katanya tadi siang bagian perut tempat organ hati berada sempat terasa sakit kembali.

-
-

Pagi yang hangat.

Setiap hari Rion--kalau sedang baik-baik saja--disuruh berjemur sembari berjalan keliling halaman rumah, katanya untuk olahraga kecil-kecilan.

Di hari Sabtu kali ini Bilal menemani Rion olahraga, dia sedang jadwal libur. Qaisar juga tumbenan sudah keluar kamar, ikutan olahraga kecil-kecilan bersama dengan kedua kakaknya.

Di bawah pohon palem, Rion lagi ngadem, menonton dua saudaranya yang sedang melatih otot dengan dumbble berbagai ukuran. Rion baru tahu Bilal menyimpan alat begituan, pantas saja otot abangnya bagus.

"Yong, kan, judulnya berjemur, ngapain diem di bawah pohon?"

"Berjemur mah di pantai, Bun, bukan di halaman rumah," sahut Rion kepada sang bunda yang muncul di ambang pintu rumah.

Bilal melirik jam tangannya.

"Lo udah duduk 15 menit, bangun, lanjut jalan dua puteran lagi."

Rion berdiri dengan malas diiringi dengkusan samar yang tidak akan terdengar oleh Bilal. Kalau sama abangnya harus nurut, soalnya makhluk satu itu si raja tega, si dokter yang bermuka dua. Kalau sedang baik dia akan menusukkan jarum infus dengan gerakkan halus; tidak terasa sakit sedikit pun. Tapi, kalau sedang punya uneg-uneg sama Rion, dia menusukkan jarum infus seolah didorong oleh dendam, dan seramnya tingkat sakitnya sepertinya bisa disesuaikan dengan besar dendamnya. Bilal itu dikenal orang sebagai si tenang yang terampil dan rupawan, cih... di mata Rion dia tak lebih dari seorang dokter judes yang bermuka dua dan menyeramkan.

Rion kembali melangkah mengelilingi halaman rumahnya yang beralaskan paving block merah bata.

"Mau pada ke mana?" tanya Rion, bunda dan kakaknya melangkah melewati teras dan sang bunda terlihat membawa dompet.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang