16

3.5K 490 63
                                    

Di hari kepulangan Rion, rona pucat masih mendominasi warna di kulit wajahnya. Napas Rion juga masih terasa berat dan batuk memang belum juga benar-benar sembuh, tapi dia ingin pulang, dokter juga sudah mengizinkannya pulang, termasuk Bilal.

Rion keluar dari gedung rumah sakit menggunakan kursi roda. Dia merasa sangat lelah, mungkin hawa-hawa orang yang baru sembuh dari sakit.

Bilal yang hari ini jadwal tugas shift dua mengantarkan Rion pulang, ada ayahnya juga yang duduk di samping Rion.

Hardian melirik Rion yang tampak memejamkan mata, terlihat lelah. Sebelum kepulangan putranya itu, Hardian beberapa kali berdiskusi dengan Bilal; apa membawa Rion pulang adalah pilihan yang benar? Tapi Dokter Nirwan memang sudah memperbolehkan Rion pulang, hanya Hardian tidak yakin, dia takut Rion kenapa-napa di rumah, tapi Bilal juga bilang tidak apa-apa, malah kalau di rumah sakit terus Rion jadinya stress.

"Tidur pundak Ayah sini, Yong."

Rion menggeser duduk, menaruh kepalanya di pundak Hardian.

Kemudian Hardian memegangi kepala putranya itu agar tidak goyang-goyang.

-

Sampai rumah, Rion melanjutkan tidur di ruangan main Junior. Lena menyelimutinya karena kulit Rion terasa dingin dan menyeka keringat yang membanjir di kening putranya itu.

"Bunda, Iyong udah sembuh?" tanya Junior.

Lena mengangguk. "Udah," katanya diakhiri senyuman lembut.

Junior memandangi abangnya yang sedang tertidur itu dengan mulutnya yang cemberut.

"Kok, cemberut, kenapa?" tanya Lena.

"Iyong kalo di rumah galak, Bunda."

"Jun-nya jangan nakalin Iyong. Iyong baik kalo Jun gak nakal."

Junior menggeleng. "Kalo Jun lagi gak nakal aja suka Iyong pelototin atau jitak atau cubit," ungkapnya.

"Nanti Bunda marahin, ya, Iyong-nya. Gak akan berani lagi galak-galak sama Jun, apalagi jitak-jitak sama cubit-cubit."

Junior mengangguk-angguk.

"Bunda jangan tinggalin Jun lagi. Jun gak mau di rumah sama Iyong sama Qai."

Lena melipat bibir. Pernah ada niatan untuk mengulang meninggalkan mereka bertiga lagi, tapi ternyata malam hari itu menjadi trauma yang berkepanjangan untuk si bungsu, terlebih kepada kakak ketiganya. Memang dasar Rion, sudah tua masih saja suka iseng ke adeknya.

-

"Jun, pindahin, lo nonton gituan mulu. Mana sini remotnya."

"Gak mau."

Junior tetap duduk di atas karpet, hanya melirik Rion sekilas. Serial kartun kesukaannya sedang tayang, enak saja kalau harus dipindahin, biasanya juga Junior nonton dengan damai kalau tidak ada abangnya yang satu itu.

"Gue jitak, ya, lu. Siniin, gak?!"

Junior hanya melirik dengan mulut yang cemberut, tidak menggubris lebih.

Pukk.

Rion melemparkan boneka kecil, kena ke punggung Junior.

Junior melirik dan tampak marah, napasnya menderu, biasanya kalau sudah begini dia akan menangis dan mengadu, tapi kali ini Junior tidak akan lagi menjadi cengeng. Dia berdiri, menghadap Rion, dan dengan cepat melemparkan remot di tangannya.

Tak.

"Akh! Anj--"

Tepat sekali kena kepala Rion.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang