90

2.1K 331 43
                                    

Satu minggu di rumah sakit, akhirnya Rion pulang. Dan besoknya tiba-tiba dia meminta izin pergi ke kampus--sekalian minta dianterin, Lena melarang, tentu saja, soalnya jika diingat-ingat sehabis bepergian jauh--jarak ke tempat perkuliahannya memang cukup jauh--Rion selalu berakhir masuk rumah sakit. Lena tidak mau mengulang kesalahan dengan mengizinkannya, ya minimal kalau mau pergi-pergi sekarang Rion harus benar-benar dalam kondisi yang baik, dan itu tentu saja tidak untuk saat ini, baru juga kemarin pulang dari rawat inap.

"Kan, dari kemaren istirahat, Bun. Ini pertemuan sama pembimbing satu lagi loh, Bun. Orangnya lagi sibuk banget, soalnya lagi lanjut pendidikan, susah ditemuin, hari ini itu kesempatan langka," bujuk Rion dengan segala alasan yang memang faktanya begitu.

"Gak bisa minta online aja apa, Yong?"

Lena masih sangat ragu untuk mengizinkan. Ingin dia mengatakan bahwa kondisi Rion adalah yang utama, dibanding dengan segala keharusannya sebagai mahasiswa.

"Kita aja cuma punya waktu sebentar, Bun, buat nemuinnya. Lagian, gak sopan, masa aku minta keringanan terus, mahasiswa lain aja berjuang keras."

Lena menatap putranya itu. Mendapat izin pulang dari dokter, bukan berarti kondisinya baik, hanya sedikit lebih baik. Ingin sekali Lena mempertegas bahwa kini Rion tidak bisa disamakan dengan mahasiswa lain, kondisinya beda... B-E-D-A.

"Bun, minta anterin sama Bang Rafli, sebentar aja. Plis, ya?"

Lena menghela napas.

"Bunda minta izin Abang dulu tapi," katanya, berakhir luluh, selalu.

Rion menarik sudut bibir. "Kalo gak diizinin, tetep pergi, ya? Jangan bilang-bilang," rajuknya, mengajak untuk bersekutu.

Lena mendecak lalu menghela napas lagi dengan pelan sembari mengangkat ponselnya ke dekat telinga.

Bilal yang paham dengan karakter Rion tentu saja mengizinkan, percuma tidak diizinkan pun dia akan memaksakan pergi. Biarkan kapok sendiri, selalu begitu prinsip Bilal.

Senyum Rion merekah lebar.

"Tuh, kan, Bunda mah lebay, orang gak pa-pa," ucap Rion, "mandi ayok, Bun, berangkat jam 9. Kita janji temunya abis dzuhur. Jalan pagi biar bisa istirahat dulu di kos Gazza."

"Di lap aja," kata Lena.

"Mandi lah, Bun, dikeramas, biar wangi."

Lena menghela napas untuk ke-tiga kalinya. Dia masih sangat bimbang, tapi wajah Rion sumringah.

"Yaudah, Bunda minta tolong Bang Rafli dulu," katanya sembari bangkit.

Rion mengangguk.

.

Rion lupa kalau mandi sudah menjadi salah satu aktifitas yang cukup melelahkan untuknya, keramas dan membalurkan sabun ke seluruh tubuh itu entah kenapa bisa terasa begitu melelahkan.

"Yong, ini warna ijonya ada dua. Mau pake yang mana?"

Rion menunjuk flanel berwarna hijau tua bercampur kotak-kotak hitam.

Lena membawa keduanya ke dekat Rion kemudian memakaikan salah satu yang tadi dipilih, flanel itu melapisi kaos putih yang telah membalut tubuh kurus putranya.

"Bun, gak jadi pergi aja deh. Online aja kali, ya? Boleh kali, ya? Gak apa-apa, kan, aku minta keringanan terus?"

Lena menatap. Setelah mandi suasana hati Clarion seperti berubah, yang tadinya semangat menjadi terlihat sendu. Kemudian Lena menarik naik sudut bibirnya, sedikit, ada perasaan lega juga sedih yang tiba-tiba terasa.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang