Merasa seperti dejavu kejadian di kosan Gazza waktu itu, Adam kembali harus melihat Rion terbaring di atas brankar Ambulans.Untuk mendapatkan pertolongan pertama, Ambulans dari klinik kampus ini akan membawa Rion menuju rumah sakit terdekat.
Tangan Rion menyentuh lutut Adam yang sedang sibuk dengan handphone sedang berbalas pesan dengan Gazza yang dibonceng oleh Yuzi; kedua temannya itu mengikuti di belakang Ambulans menggunakan sepeda motor. Adam berada di dalam Ambulans bersama dengan satu orang perawat klinik dan dosen pembimbingnya yang tadi ikut panik.
Rion masih dalam keadaan sadar. Dadanya naik turun dengan tempo tidak normal, beberapa kali dia terbatuk yang membuat napasnya jadi semakin terlihat memburuk. Masker oksigen tampak tidak berpengaruh banyak dalam mengatasi sesak napasnya.
Adam memegang tangan Rion yang menyentuh lututnya. Sejak masuk Ambulans Adam memang lebih memilih fokus pada handphone karena tak tega memandang kawannya itu.
Setetes air mata mengalir dari sudut mata Rion, tatapnya seperti tengah mengadukan segala kesakitannya kepada Adam.
Adam tidak bisa bicara, satu kata pun tidak sanggup, dia mengalihkan pandang, setetes air mata mengalir juga dari sudut matanya. Tangan Rion dia genggam lebih erat, hanya itu yang sanggup Adam lakukan untuk menguatkan kawannya.
-
Rumah sakit yang dekat dari lokasi kampus ini hanya memberikan pertolongan untuk sesak napas Rion karena untuk melakukan tindakan lebih lanjut mereka harus melakukan pemeriksaan terlebih dulu, sementara dua orang yang mengantarkan pasien tidak bisa memberikan keputusan. Ya, Adam harus menunggu ayah Rion datang.
Untungnya Hardian datang dengan cepat. Tapi alih-alih menyetujui pemeriksaan, Hardian langsung mengurus pemindahan Rion ke rumah sakit tempat tim dokter yang biasa menanganinya berada--rumah sakit tempat Bilal bertugas.
"Adam, bawain mobil Om, ya."
Tanpa memberi waktu untuk menyahut, Hardian memberikan kunci mobil pada pemuda itu lalu bergegas mengikuti brankar yang membawa putranya menuju ambulans rumah sakit.
.
Bunyi napas Rion dan bunyi dari monitor pasien bersahutan di dalam ruangan sempit mobil Ambulans itu, Hardian ditemani oleh seorang dokter dan perawat dari IGD.
Digenggamnya tangan sang putra yang dingin dan berkeringat banyak.
Beberapa kali Hardian usap rambut Rion yang juga sudah basah oleh keringat.
Mata putranya yang hanya terbuka segaris itu tertuju padanya.
Hardian tersenyum tipis. Bermaksud memberikan kekuatan dari senyumannya itu.
.
Di tengah energi yang makin hilang, Rion diburu oleh pergerakan napasnya yang memaksanya untuk menarik dan mengembuskan dalam tempo yang abnormal--cepat, belum lagi keinginan untuk batuk yang tidak bisa dicegah, napasnya sulit, dadanya sakit, kepalanya pusing, tubuhnya panas dingin tidak karuan; dengan segala keluhan yang menyiksa itu anehnya Rion masih diberi kesadaran untuk merasakan segala rasa sakitnya.
Sang ayah menggenggam tangannya, tapi Rion sudah tidak punya tenaga untuk membalas genggaman itu. Dia sedang memasrahkan diri sepenuhnya pada rasa sakit yang memonopoli.
Rion jadi teringat pada ucapan sang kakak, menyesal tidak mendengarkannya. Apa kalau dia tetap berada di rumah--tidak memaksakan diri beraktifitas, dia akan baik-baik saja? Tidak akan sampai tumbang begini? Atau memang harusnya begini? Sudah takdirnya hari ini berakhir seperti ini? Takdir... terpikir tentang takdir, Rion sekarang takut takdir hidupnya hanya sampai hari ini. Bagaimana dengan tugas akhirnya? Bagaimana dengan keponakannya? Rion mau menyelesaikan pendidikannya yang sudah dia perjuangkan selama hampir empat tahun, Rion juga mau menjadi 'uncle rich', dia akan me-ratu'kan keponakan pertamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.