Tiba-tiba Rion diizinkan pulang di saat dia tidak pernah merengek lagi ingin pulang ke rumah.
"Beneran boleh pulang, Bang?"
Lena tersenyum mendengar tanya Si Adik yang dilontarkan kepada Si Abang.
"Iya, tinggal nunggu Dokter Nirwan doang ini, besok pulang ke rumah," Lena yang menyahut dengan senyuman.
Kening Rion mengernyit, perlahan menoleh kepada bundanya.
"Kenapa? Gak mau pulang?" tanya Bilal datar, yang sebenarnya sedang merasa gemas kepada ekspresi adiknya yang seolah menyiratkan ketidakpercayaan.
"Mau lah. Tapi ini kayak mendadak banget. Bukan karena Dokter udah nyerah sama kondisi ku, kan?"
"Heh, ngaco ngomongnya! Dari kemaren katanya mau pulang, giliran dikasih pulang mikirnya yang aneh-aneh, emangnya mau di sini terus?" tanggap Lena, seketika jadi mengomel.
Rion menggeleng.
"Yaudah, pulang besok, udah ada izin dokter karena kondisi kamu baik," kata Lena.
Kemudian Rion malah tampak terbengong ke arah lain dengan kening yang mengernyit samar.
"Kok, kayak gak seneng?" tegur Lena.
Rion lalu kembali menoleh kepada bundanya itu, berkedip pelan.
"Seneng, Bun. Tapi... beneran? Aman gitu, Bun?"
Sekarang giliran kening milik Lena yang memperlihatkan kernyitan.
"Aman gimana maksudnya?"
"Aman. Gue usahain pulang setiap hari. Lo gak akan kenapa-napa di rumah," Bilal bersuara, dia langsung menangkap maksud dari ucapan adiknya. Sebagai tenaga medis tentu dia paham tentang kondisi mental seorang pasien yang menderita penyakit berat jangka panjang.
Lena yang dipahamkan oleh ucapan Bilal, sorot tatapannya seketika berubah. Tangannya kemudian meraih tangan Rion, menggenggamnya.
"Iyong, di rumah, kan, selalu ada Bunda, ada Kakak juga. Nanti kalo kamu ngerasa gak enak badan sedikit aja, bilang sama Bunda, ya? Gak akan kenapa-napa. Bunda selalu ada sama Iyong."
"Bunda nyesel gak punya anak kayak aku?"
Bilal otomatis menghela napas pelan. Pertanyaan-pertanyaan random yang sering terlontar tiba-tiba dari mulut adiknya itu memang terkadang mengejutkan.
"Ya, nggak lah, kenapa harus nyesel?" tanggap Lena dengan nada yang lembut, tatapannya juga.
"Aku sekarang cuma bisa nyusahin," ungkap Rion.
"Dari dulu," ralat Lena dengan santai.
Bola mata Rion jadi membulat, menatap dengan terkejut pada pembenaran yang terlalu jujur dari bundanya.
Lena kemudian terkekeh.
"Becanda," katanya, "Iyong itu spesial buat Bunda, dari dulu. Kalo ibarat warna hidup, Iyong itu warna yang unik, yang paling banyak ngewarnain hidup Bunda. Bunda belajar banyak hal dari kamu."
Untuk beberapa detik, ungkapan hati Lena hanya dibalas hening.
Bilal yang berdiri di ujung ranjang hanya mendengarkan.
Rion mengangguk.
"Dari ke-lima anak Bunda, aku memang yang paling keren," akunya. Entah tidak terlalu paham sebenarnya dia pada penuturan Sang Bunda, Rion hanya menanggapi sekenanya.
Lena terkekeh.
"Iya, Iyong yang paling keren," tegasnya sembari menatap tepat ke bola mata kecoklatan yang sama seperti miliknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.