Bilal melangkah menuju ruangan main Junior, tempat Rion tidur jika di rumah. Erlin, Rafli, Junior, dan Qaisar selalu berkumpul di ruangan itu.
"Abang pulang," seru Junior begitu melihat sosok abangnya di ambang pintu masuk.
Sebisa mungkin Bilal menarik senyum.
"Abang bawa apa?" tanya Junior.
Bilal menaruh kantong yang dia bawa di hadapan adik bungsunya.
"Donat," ucap Bilal sembari menyempatkan untuk mengusap rambut Junior.
Qaisar otomatis bangun dan merangkak mendekat. Sama seperti si bungsu, si 'pengais bungsu' pun adalah pecinta donat.
"Kalian anteng-anteng makan donat ya. Qai jangan gangguin Jun. Kakak, Bang Rafli, sama Abang mau ngobrol dulu."
"Mau ngobrol apa?" tanya Qaisar.
"Kepo," ucap Erlin.
Rafli terkekeh.
Erlin kemudian bangun dari posisi duduknya, dibantu oleh Rafli. Perutnya sudah semakin berat, menurut perkiraan beberapa hari lagi si jabang bayi harusnya lahir, tapi belum terasa ada tanda-tanda mau lahir.
Bilal melangkah keluar ruangan duluan, kakinya mengayun menuju kamar tamu.
Erlin dan Rafli mengikuti saja.
Setelah kakak dan kakak iparnya masuk, Bilal menutup pintu kamar tamu itu.
Rafli membawa istrinya untuk duduk di tepi ranjang.
Bilal mengayunkan langkah dengan kepala yang menunduk
"Kenapa, Bi?" tanya Erlin.
Langkah Bilal terhenti dan air matanya terjatuh ke atas lantai.
"Iyong, ya?"
Bilal belum bisa menyahut, bibirnya terlipat rapat menahan sesak. Kepalanya semakin menunduk dalam.
"Lo ditolak jadi pendonor?"
"Hm?"
Seketika Bilal mengangkat pandang, menatap mata kakaknya yang ternyata ikutan berair.
"Lo tahu?" tanyanya dengan suara bergetar.
Erlin tersenyum tipis, menggeleng, dan air matanya ikut jatuh.
"Cuma nebak, tapi ternyata bener, ya."
Senyum tipis Erlin masih terpatri, tangan kanannya menghapus air mata dan tangan kirinya meraih tangan Rafli yang berdiri di sampingnya.
Rafli mengelus tangan Sang Istri dengan jari jempolnya.
"Tenang aja, Bi, gue mau maju jadi calon pendonor," ungkap Rafli.
Bilal otomatis melirik kakak iparnya itu.
Senyuman Erlin melebar dengan tetes air mata yang semakin banyak terjatuh.
"Golongan darah gue sama Iyong sama kok. Malem-malem kemaren gue sama Erlin udah bahas ini. Erlin punya firasat kalo sakit lo bakal menghambat tahap skrining, ternyata bener. Tapi gak usah khawatir, Bi, ada gue, InsyaAllah gue aman, bakalan jaga kesehatan."
Bilal lalu melirik kakaknya.
Dengan bibir yang terlipat, Erlin mengangguk. Saat dia tahu tiba-tiba Bilal dinyatakan tertular virus Hepatitis A, dia sudah mengira bahwa hal ini mungkin terjadi. Walaupun Hepatitis A tergolongan ringan, tapi proses penyembuhan totalnya tidak ada yang bisa memastikan berapa lama ditambah ada waktu tunggu sampai si mantan penderita bisa menjadi pendonor, pikir Erlin: Rion tidak mungkin harus menunggu ketidakpastian itu. Untung saja ada Rafli yang tiba-tiba mengajukan diri. Erlin tidak berniat menyeret Rafli dalam masalah keluarganya, dan bukannya dia tidak sayang kepada Rafli, membayangkan Rafli akan ada di meja operasi, yang kemungkinan di waktu beberapa minggu setelah dia melahirkan, bukan hal mudah direlakan juga untuk Erlin. Saat Rafli mengajukan diri, jujur di lubuk hati Erlin ingin melarang, tapi tidak munafik di sisi hati yang lain dia memang membutuhkan Rafli untuk menolong Rion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.