92

2K 382 55
                                    

Sudah tiga hari Rion tidak melihat Junior, anak itu mendekam di kamar lantai atas, tidak turun-turun. Rion merasa tidak enak hati awalnya karena mengira mungkin Junior mengasingkan diri akibat ledekan darinya, tapi kata Lena bukan, itu hanya upaya untuk mencegah penularan. Ya, kalau begitu Rion berharap adiknya tidak dulu keluar kamar sebelum sembuh, dia tidak mau ketularan. Bekas luka cacar akan menodai kulit bersihnya, tidak ikhlas Rion jika itu terjadi.

Kesampingkan Junior, mari kita fokus kepada kegiatan Rion sekarang-sekarang ini yang telah selesai merampungkan laporan tugas akhirnya--karya tulis ilmiah yang harus dia buat berdasarkan dari kegiatannya sebagai penulis naskah dari sebuah film yang diajukan sebagai syarat menuntaskan masa pendidikannya. Laporannya sudah mendapat persetujuan dari dosen pembimbing untuk maju menuju pengujian sidang. Maka dari itu, sejak kemarin Rion mulai mempersiapkan pengumpulan berkas yang dibutuhkan sebagai syarat pendaftaran. Tentu semua dibantu oleh orang-orang di sekitarnya, Rion hanya duduk dengan laptop di pangkuan dan tas yang berisi berkas-berkas yang dibutuhkan.

"Mana lagi yang mau di-scan."

Rion memisah-misahkan lembar berkas, Rafli menunggu, dia bertugas sebagai juru scanner berkas fisik yang harus dijadikan file agar mudah dipindah tangankan melalui gadget.

"Ini beneran gue gak perlu ke kampus, kecuali tar waktu jadwal sidang?" tanya Rion, soalnya kawan-kawannya yang tiga itu sedang uring-uringan mengurus pendaftaran dan ini itu nya untuk persiapan ujian sidang mereka, sementara Rion dengan enaknya hanya duduk manis mendapat bantuan dari sana-sini, termasuk dari ketiga kawannya itu.

"Iya," sahut Rafli, singkat.

"Kalo kayak gini gue kalo lulus sah gak sih, Bang?"

Rafli mengalihkan pandangnya dari lembar kertas yang ada di tangan, ditatapnya Rion yang tengah menatap dengan raut bimbang.

"Ya, sah, emangnya kenapa? Lo ngerjain sendiri, cuma dibantu sedikit doang karena keadaan."

Mendengar pembelaan dari Rafli, Rion menghela napas.

"Gue ngerasanya dikasih jalur enak, jadi kesannya gue curang,"ungkapnya.

Di balik sikap yang semaunya sendiri, Rion sebenarnya masuk juga ke dalam golongan seonggok manusia yang tidak enakan.

Giliran Rafli yang menghela napas, ini Rion hanya dibantu saat sekarang doang loh, bukan saat masa aktif-aktifnya tugas kuliah, masa penulisan naskah dan pembuatan film kemarin, atau laporan akhirnya.

"Curang gimana, Yong? Nggak ada curang ah. Kalo lo ngerjain skripsi jalur joki, baru tuh curang namanya. Dari awal, kan, lo usaha sendiri," jelas Rafli.

Bibir Rion mengatup, terdiam sejenak.

"Iya sih," ucapnya kemudian dengan raut bimbang yang tidak hilang. "Tapi Bang, pas gue sidang nanti, dosen bakal ngasih nilai karena kasian atau karena kemampuan gue, ya?"

Rafli menatap adik iparnya itu. Ini sisi dari seorang 'Iyong' yang tidak banyak orang tahu.

"Kemampuan lo lah. Gue gak akan aneh kalo misal lo dapet nilai A, soalnya lo emang mampu dapetin itu. Gue waktu itu ngobrol sama temen-temen lo, katanya kalo ada ujian atau tugas, elo yang persiapannya paling mateng. Terus mungkin tanpa lo sadar kalo ngerjain apa-apa itu elo selalu paling berusaha biar semuanya sempurna. Gue gak heran tapi sih, kata Bunda juga lo itu emang sebenernya rajin, pinter. Ya, sama, sama anak Bunda yang lain."

"Gak gitu juga sih, Bang, gue cuma mau apa yang gue kerjain itu berjalan dengan baik, gitu doang," ralat Rion dengan cepat.

Ini sisi dari Clarion yang tidak banyak orang tahu juga... dia rendah hati. Pasti banyak orang yang ingin menyangkal. Tapi, begitu lah gambaran Rion di mata Rafli. Dia tidak pernah mau dipuji, selalu mengeluarkan kemampuannya secara diam-diam. Ya, memang dari luaran yang diperlihatkan adalah sikap congkaknya. Jadi, kalaupun banyak yang menyangkal pandangan Rafli, wajar, Rion tidak memperlihatkan sisi baiknya itu soalnya.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang