"Bunda, Ayah, Oma, Opa, Kakak, Om Felix, sampe Al juga nanti nungguin kamu di luar. Di dalem juga ada Abang, ada Bang Rafli. Dan yang paling utama, di sisi kamu ada Allah. Apa lagi yang harus ditakutin? Iyong, kan, dido'ain banyak orang."
Lena mengusap air mata Rion dengan beberapa lembar tisu baru yang siap sedia disodorkan oleh Hardian.
"Jangan gini terus, nanti kalo badannya drop, diundur operasinya, kan, repot lagi. Abang Rafli juga itu udah siap lho, udah mandi pake sabun khusus, masa gak jadi gara-gara pasiennya nangis terus."
"Uhukk--"
"Tuh, kan, mulai batuk. Udah ah, Iyong, kan, kuat. Nanti Bunda temenin sampe masuk pintu ruang operasi, ya?"
Hardian yang juga ada di samping ranjang tidak ikut bersuara, tangannya menyurai rambut putranya yang telah basah oleh keringat. Waktu transplantasi tinggal hitungan jam, tapi si pasien malah semakin kehilangan keberaniannya.
Rafli sebagai pendonor sudah siap sedia berada di ruangan rawat inap Rion, sudah memakai pakaian khusus pasien operasi. Erlin turut ada di sana bersama dengan Altair. Bukan hanya kepada Rion, Erlin juga mengkhawatirkan suaminya, tapi Rafli dari kemarin tidak terlihat ada keraguan, tampak sangat berani.
Bilal masuk ke dalam ruangan membawa sesuatu yang dibungkus plastik bening.
Lena melirik putranya itu dengan sorot mata cemas--mengadu tanpa kata.
"Aku bersihin dulu badannya sama gantiin bajunya," kata Bilal sembari melangkah ke arah kamar mandi setelah meletakkan barang yang dibawanya ke atas nakas; yang merupakan pakaian untuk Rion.
Lena menjauh dari Rion, begitu pun dengan Hardian yang langsung mundur saat Bilal telah siap untuk melakukan tugasnya.
Bilal menarik tirai, menutupi ranjang.
Wajah Rion basah dan sembab. Entah apa yang membuat keberanian adiknya itu tiba-tiba menghilang, padahal dari jauh hari sangat antusias untuk melakukan transplantasi.
Bilal mendekatinya, mulai melepas kancing piyama Rion.
"Nanti sebelum anestesi jangan mandang apa pun, selain mata gue. Tidur aja yang nyenyak. Gue temenin sampe udah," ucap Bilal kemudian dia menggerakkan bola mata, menatap tepat ke manik mata Rion.
"Lo tidur, nanti pas bangun udah selesai. Gak akan kerasa sakit. Percaya, kan, sama gue?"
Rion menatap mata Bilal. Kemudian perlahan kepalanya mengangguk.
Bilal tetap berekspresi datar lalu melanjutkan tugasnya, membersihkan tubuh Rion dengan air yang dicampur cairan antiseptik dan menggantikan pakaiannya; mempersiapkan adiknya sebelum masuk ke ruangan operasi.
Sebenarnya di balik ekspresi datarnya itu, dalam hati Bilal merasa puas karena selalu bisa membuat seorang Clarion yang keras kepala percaya kepadanya.
-
Junior dan Qaisar sudah pulang sekolah dan langsung ke rumah sakit, keduanya menonton dari sofa saat tiba di waktu peluk-pelukan sebelum abang mereka dibawa ke ruang operasi. Baik Junior maupun Qaisar tidak ada yang mendekat--tidak ikut memberi semangat kepada abangnya lewat pelukan, tapi percayalah keduanya sama-sama mendo'akan dalam hati.
Dengan tubuh yang tidak begitu bertenaga, Rion membalas pelukan satu per-satu orang yang memeluknya, ada Bunda, Ayah, Erlin, Oma, Opa, Felix, dan ketiga temannya. Saudara-saudara yang lain akan datang esok atau lusa--setelah transplantasi. Bahkan keluarga Rafli pun katanya akan datang, tapi lebih ke untuk menjenguk Rafli, sepertinya.
"Abis ini satu permasalahan selesai, semoga gak jadi masalah lagi. Iyong yang sehat ya abis ini, nanti kita cari solusi lagi buat masalah yang lain," ucap Lena sembari mengusap rambut Rion yang sudah disisir rapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
Ficción General**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.