50

3.2K 316 30
                                    

"Y-Yah."

"Hm?"

"Yuzi."

Hardian menengok ke arah nakas yang dilirik Rion. Kemudian mengambil ponsel dengan case berwarna hitam bercorak coretan tak jelas. Ponsel itu tidak menggunakan keamanan kata sandi atau apa pun, jadi Hardian dapat dengan mudah membukanya lalu disentuhnya ikon Whatsapp kemudian memanggil kontak Yuzi.

"Yuzi, Iyong gak jadi ke kampus," ucap Hardian setelah mengucap salam dan mendapat balasan dari sebrang sana.

Rion menggelengkan kepala.

Hardian paham.

"Ada pertemuan mendadak sama dokter ... Iya, maaf, ya, gak bisa ikut ke kampus."

Rion terbaring di ranjangnya dengan posisi setengah duduk. Dia sudah siap dengan kaus pendek berkerah dan jeans biru pudar, juga kaki yang berbalut kaus kaki; tadinya sudah memakai sepatu, tapi sudah dilepas oleh perawat. Dia siap berangkat ke kampus, rencananya hari ini bersama dengan ketiga temannya akan memperlihatkan karya mereka yang sudah selesai tahap editing kepada dosen pembimbing yang kemarin memberitahukan perihal lomba itu. Tapi sebelum berangkat tadi, tiba-tiba napasnya terasa bertambah sesak, yang lama-lama oksigen menjadi lebih sulit untuk dihirup, sampai Rion yang awalnya akan menahannya dengan menyembunyikannya dari Hardian, akhirnya menyerah, tidak sanggup untuk mengatasinya sendiri.

Hardian mematikan telepon.

"Kata Yuzi gak pa-pa, nanti besok mereka ke sini," katanya.

Disimpannya kembali ponsel Rion ke atas nakas.

"Bentar lagi pasti baikan," ucap Hardian sembari memperlihatkan senyuman dan mengelus rambut Rion, bermaksud untuk menenangkan putranya. Padahal dirinya sendiri merasa tidak tenang, bola matanya terus mencuri pandang ke arah pasien monitor yang kembali dinyalakan. Beberapa alat yang terhubung dengan monitor itu terpasang di tubuh Rion, mengukur tanda-tanda vitalnya.

Asalkan saturasi oksigen Rion terus naik walaupun satu per-satu angka, maka kondisinya akan baik-baik saja, tapi jika saturasi oksigennya mengalami penurunan, maka Hardian harus segera memanggil perawat atau dokter.

Pintu ruangan terbuka.

Lena masuk dengan wajah panik.

"Bun, kok, ke sini. Erlin sama siapa di rumah?"

Hardian kaget dengan kedatangan istrinya itu.

"Sendiri. Bunda mampir bentar kok, abis nganterin Jun sama Qai."

Hardian bangkit dari kursi. Membiarkan istrinya yang tampak habis jalan dengan terburu-buru untuk duduk di kursi itu.

"Bikin Bunda panik aja, Yong," kata Lena diakhiri helaan napas.

Rion hanya bisa tersenyum, tidak ingin memaksakan diri untuk bicara karena selain akan menambah sesak, juga percuma suaranya yang keluar pasti lemah--tidak akan terdengar.

"Dari semalem Bunda gak enak hati pas Ayah bilang kamu mau pergi ke kampus, makanya dari pagi Bunda chat Ayah terus. Eh, kata Ayah gak jadi berangkat, kamu tiba-tiba susah napas, Bunda panik banget jadinya. Kakak gak Bunda kasih tahu takut mau ikut ke sini, perutnya udah gede banget, jalan jauh udah susah."

Lena memegang tangan Rion.

"Sesek banget, ya?" tanyanya.

Rion menganggukkan kepala.

Lena merasa tidak berguna. Hanya bertanya, tapi tidak bisa membantu.

"Bunda gak bisa lama-lama di sini. Tapi nanti sore Bunda ke sini lagi sama Jun."

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang