Kabar baik itu datang di waktu tengah malam, Hardian yang tidak bisa tidur karena khawatir pada putri pertamanya, akhirnya mengembuskan napas lega setelah Bilal yang sedang ada di gedung tempat Ibu bersalin memberitahukan bahwa bayi Erlin telah lahir; ibu dan bayi dalam keadaan baik-baik saja, tidak ada masalah walau proses persalinan memang berjalan sangat lambat.
Hardian menjadi tidak sabaran ingin menjenguk ke sana, sebentar saja, untuk melihat putrinya dan cucu pertamanya, yang kata Bilal mirip dengan Erlin; memiliki garis wajah Nick.
Sebelum meninggalkan ranjang, Hardian melirik Qaisar dan Junior yang tidur bersamanya, mereka berdua tampak lelap. Kemudian Hardian turun dari ranjang lalu melirik ke arah ranjang pasien, Rion juga sepertinya pulas. Setelah memastikan ketiga putranya tidur nyenyak, langkahnya lalu mengayun pelan menuju pintu keluar.
"Yah."
Langkah Hardian terhenti dan otomatis membalikkan badan.
"Ke mana?"
Hardian kembali mengayunkan langkah, tapi jadinya menghampiri ranjang pasien, tidak jadi keluar dari ruangan.
"Bayi Kakak udah lahir, tadinya Ayah mau liat bentar, tapi gak jadi, besok aja. Kenapa bangun?"
Rion menghela napas lega. Akhirnya keponakannya lahir juga.
"Mau liat, ada fotonya, gak?" tanyanya, tidak menghiraukan pertanyaan ayahnya.
"Gak ada. Tapi katanya mirip Kakak."
Hardian kemudian duduk di kursi samping ranjang.
"Ayah lega banget, Alhamdulillah Kakak sama bayinya baik-baik aja. Bunda belum nelepon, bentar lagi pasti nelepon."
Bibir Rion tersenyum.
"Gak sabar pengen liat bayinya."
Hardian ikut tersenyum.
"Iya, Ayah juga gak sabar pengen liat. Tidur lagi, berat gitu mata kamu," ucap Hardian karena di bawah cahaya lampu yang temaram semakin dilihat semakin tampak jelas kelopak mata Rion sepertinya sudah sangat berat untuk terbuka.
Setelah mendengar keponakannya telah lahir, Rion memang menjadi sangat mengantuk.
"Besok mau liat keponakanku, Yah."
"Iya, besok liat, nanti Ayah fotoin. Sekarang tidur lagi, Ayah bangunnya berisik, ya? Sampe bikin kamu kebangun."
Tangan Hardian bergerak untuk mengusap rambut Rion dan tidak sengaja menyentuh keningnya.
Alis Hardian otomatis naik kemudian tangannya meraba kening itu dengan seksama lalu mengecek kedua pipi Rion dengan punggung tangan.
"Kenapa gak ngomong badan kamu panas."
Hardian sigap bangkit lalu menekan tombol nurse call yang menggantung di sisi kiri ranjang.
"Apa yang dirasain?" tanya Hardian yang seketika menjadi panik.
Rion menggelengkan kepala dengan mata yang tampak semakin berat untuk berkedip. Dia memang tidak merasakan apa-apa, selain rasa lemas yang terlalu berlebihan. Hawa tubuhnya jadi memanas mungkin karena dari tadi Rion mengkhawatirkan keponakannya yang belum kunjung lahir, sampai membuatnya jadi sulit tidur; sebenarnya Rion bukan terbangun karena ayahnya, dia memang masih bangun--belum bisa tidur.
"Keponakan aku, dikasih nama siapa?"
"Nanti aja ngobrolnya. Ayah ke Nurse Station dulu, kayaknya mereka pada ketiduran."
Hardian terburu-buru melangkah ke luar ruangan.
Rion menatap langit-langit kamar, matanya panas saat terbuka. Tangannya kemudian terangkat untuk merasakan suhu tubuh di bagian keningnya. Suhu tubuhnya memang meningkat pesat. Kelak di saat sudah dewasa, keponakannya harus tahu tentang ini, dia punya Om yang sebegitu mengkhawatirkannya, tidak bisa tidur menunggu kelahirannya, sampai demam tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.