91

2K 389 66
                                    

Di penghujung minggu Lena kedatangan tamu, Felix--adiknya, yang datang sendirian, tidak dengan keluarganya. Ya, karena kemarennya memang dia ada kerjaan di sana, jadi sekalian--tidak sengaja pergi untuk bermalam di rumah Lena.

Felix membawakan beberapa makanan yang dia tahu adalah kesukaan keponakan-keponakannya, terutama Rion, Felix membeli lebih banyak makanan untuk Rion karena ingin keponakannya yang satu itu badannya kembali berisi. Tapi, ternyata sudah beberapa lama Rion tidak mau makan melalui mulutnya, kata Lena dia hanya makan sesekali saja kalau lagi ngidam sesuatu, itu pun satu kali suap.

"Emang gak pa-pa, Teh, asupan makan cuma dari makanan cair doang?"

"Ya, makanan cairnya juga gak dibikin sembarang, Lix. Lagian, dikasih minuman nutrisi khusus juga. Tercukupi lah kebutuhan tubuhnya, walaupun gak makan lewat mulut," terang Lena.

"Tapi, kan, jadi kurus terus, Teh."

"Sekarang mulai berisi Iyong segitu tuh, matanya gak cekung banget."

Felix berada di dapur sedang membantu Lena memasak. Hanya potong-potong sayuran sih, kebiasaannya sejak dulu.

"Teh, beneran gak ada pengobatan lain? Kenapa gak terima aja tawaran Papa buat bawa Iyong berobat ke luar negeri, di negara-negara maju fasilitas kesehatan juga pasti lebih maju," usul Felix.

"Mas Hardi juga kemaren udah mikir mau bawa Iyong ke rumah sakit paru terbaik katanya, ada di Penang atau di Bangkok."

"Nah, yaudah, ayok berangkat!" tanggap Felix, bersemangat. Melihat keadaan keponakannya yang sekarang rasanya dia tidak ingin tinggal diam, apa yang bisa dibantu, dia akan bantu.

Lena menggeleng. "Teteh gak mau ambil resiko, dokter juga gak nyaranin Iyong naik pesawat. Terus juga mau di sini, mau di sana, kalo gak ada donor, ya gitu aja, Lix."

Felix otomatis menegun.

"Terus gimana, Teh?" tanyanya kemudian dengan nada sendu sembari menatap kakaknya yang sedang mengaduk kuah sayur.

"Lix, kamu gak mau, kan, ini masakan jadi asin karena ketumpahan air mata. Berenti ngomong, okeyy???"

Sudut bibir Lena tertarik naik, memandang adiknya yang terus berceloteh itu dengan gemas. Tidak peka sekali Felix, dikira Lena sanggup membicarakan hal ini.

"Apalagi yang harus dipotong ini?" tanya Felix, bergegas meninggalkan topik obrolan sebelumnya.

"Potongin buah aja, Jun lagi seneng melon," sahut Lena.

"Okee. Kalo Qai?"

"Mood-moodan dia kalo mau buah, potongin aja semua buah yang ada, Lix."

"Siapp," kata Felix. Sambil dia berbalik melangkah menuju kulkas, seiring itu helaan napas keluar. Beneran tidak ada, kah, yang bisa dilakukan untuk menolong keponakan nakalnya? Sedih sekali hati Felix melihat keadaan Rion.

"Bun, Iyong harus dibawa ke rumah sakit. Aku siapin mobil dulu."

Rafli muncul dan menyampaikan informasi dengan cepat kemudian terburu-buru melangkah ke arah pintu depan.

Lena mematikan kompor, langsung berlari.

Felix yang hendak memotong melon yang bulat utuh pun, urung, dia simpan pisau di tangannya lalu mengikuti langkah lebar kakaknya.

Di sana ada Altair yang tentu tidak mengerti apa-apa dan ada Junior yang tertegun menatap Sang Kakak yang tengah memeluk abangnya.

Rion mengenakan masker oksigen, dipeluk oleh Erlin.

"Kak, Kenapa?"

Lena mendekat.

Erlin melepaskan Rion, yang ternyata menangis.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang