44

3.8K 436 61
                                    

"Gue masih ngantuk."

"Nanti lanjut tidur di mobil."

Bilal memakaikan rompi getar kepada Rion yang dibangunkan secara paksa, jadinya sekarang mata anak itu masih setengah terpejam.

"Melek dulu. Nih," kata Bilal sembari memberikan mouthpiece yang sudah mengeluarkan uap.

Rion mengambil benda itu dan memasukkan ujung mouthpiece ke dalam mulut, menghirup uapnya. Walaupun mengantuk, dia tetap patuh.

Rion baru pulang dari rumah sakit lusa kemarin. Dan di hari ini ada acara syukuran 7 bulanan kandungan Erlin. Harusnya nanti sih satu mingguan lagi, tapi di minggu depan sudah memasuki Bulan Ramadhan, jadi acaranya ditarik ke hari ini.

"Bukannya mau syukuran pengajian doang di rumah?" tanya Rion.

"Keluarganya Bang Rafli maunya acara gede," sahut Bilal.

Rion mendecih. "Crazy rich bikin ribet," ucapnya.

"Bang Rafli udah bangun lho, Yong, denger tar omongan lo."

"Gue gak ngomongin Bang Rafli-nya, gue ngomongin keluarganya," kata Rion.

Dalam hati, Bilal menyetujui sih apa kata adiknya.

.

Setelah shalat Subuh mereka bergegas menuju ballroom hotel yang sudah disewa menjadi tempat acara. Acara dilaksanakan di pagi hari, lagi-lagi dikarenakan keluarga Rafli, yang bukan keluarga biasa itu, tidak bisa kalau jam pelaksanaannya siang sampai sore, mereka sudah ada jadwal lain di sore hari.

Dari parkiran hotel, Rion menggunakan kursi roda, kursi roda elektrik, harusnya bisa dijalankan sendiri, tapi Rion sedang malas melajukannya, ada Bilal ini yang baik hati mau mendorongkan kursi rodanya.

Acara dilaksanakan berdasarkan adat Jawa karena keluarga Rafli berdarah Jawa tulen. Keluarga Hardian juga sebenarnya ada keturunan Jawa, kakek dan nenek buyut Rion berasal dari Yogyakarta.

Satu keluarga mengenakan pakaian adat Jawa, termasuk para lelaki, yang memakai atasan khas, bawahan kain batik yang dililit, dan memakai blangkon .

"Cakep-cakep banget cah lanang-nya Bapak Hardian. Coba berdiri berempat, Bunda mau fotoin," titah Lena.

Keempat putranya yang memakai pakaian serupa, menurut--mereka berjajar, kemudian Lena memotretnya menggunakan ponsel dengan senang hati.

"Bun, itu ada Mama sama Papa, sama yang lainnya juga."

Hardian muncul di ambang pintu kamar.

Lena langsung bergegas keluar. Keluarganya sudah datang.

"Pada siap belom?" tanya Hardian kepada keempat putranya.

"Udah, Yah. Ke sana sekarang?" sahut Bilal sebagai yang tertua dari keempat cah lanang-nya Hardian.

"Iya, sapa dulu saudara-saudara yang udah dateng. Ada Opa sama Oma juga. Iyong, pake kursi roda aja. Jalan sampe lift ke ballroom-nya lumayan jauh, ballroom-nya juga luas, kecapekan nanti kamu. Sekalian dibawa tas tabung oksigen yang kecil itu, simpen di kursi roda."

"Apaan sih, Yah, nggak ah, ribet banget."

Rion memandang sebal ayahnya yang riweuh itu.

"Yang dateng tar banyak lho, engap," kata Hardian.

"Kata Ayah ballroom-nya luas, ya, gak akan engap dong. Kalo sepetakan doang baru engap," sahut Rion.

Diam-diam Bilal mengambil kursi roda yang ada di pojok ruangan kemudian dari belakang dia menarik bahu Rion agar duduk di kursi roda itu.

"Bang!"

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang