Di waktu malam sampai ke pagi kemudian masuk siang hari dibawa ke ruang endoskopi untuk melakukan tindakan ligasi, sosok Bilal selalu terlihat oleh bola mata Rion. Lama-lama merasa terenyuh dengan keberadaan abangnya, yang bahkan sepertinya belum menyempatkan waktu untuk sekadar mandi dan berganti pakaian. Niat ingin menikung Dokter Maira langsung lenyap seketika, tidak jadi deh, Dokter Maira memang lebih pantas dengan Bilal saja.
Proses tindakan ligasi yang kedua ini berjalan lebih lancar dari yang pertama karena Rion tidak menggunakan anestesi lokal, yang kali ini dia diberikan sedasi ringan, sehingga hanya tertidur selama proses berlangsung.
Rion masih terlalu gengsi untuk mengungkapkan pengakuan ini, hanya dalam hati dia sangat mengakuinya bahwa segala sesuatu yang dia jalani pasti terasa lebih ringan jika ada Bilal, bukan hanya karena keberadaannya, tapi juga karena campur tangan abangnya, seolah Bilal itu memang selalu tahu bagaimana cara membuat Rion merasa nyaman.
Sekarang Rion sudah kembali ke ranjang ICU, Bilal ada di sampingnya, duduk bertumpang kaki dengan tangan terlipat di dada dan tampang datar seperti biasa.
"Lo masih marah ya, soal parfum? Gue, kan, udah ganti," kata Rion, akhirnya mengeluarkan suara setelah beberapa waktu hanya membiarkan satu sama lain saling diam.
"Kalo marah, ngapain gue dari kemarin nemenin lo di sini?" sahut Bilal.
Rion menatap abangnya yang bertampang jutek, tampangnya yang seperti itu mungkin bawaan, tapi Rion selalu merasa hanya kepada dia Bilal memasang wajah jutek begitu, kepada yang lain tidak.
"Kalo gak marah, kenapa dari kemaren gak ngomong-ngomong?"
"Gue harus ngomong apa?"
"Ya, apa aja, ngobrol."
"Harus banget emang ngobrol sama lo?"
Rion mendecak. "Gitu banget sama gue," katanya.
Bilal tiba-tiba terkekeh.
"Tuh, lo aneh, dari jutek tiba-tiba ketawa terus abis itu langsung jutek lagi."
Bilal menghentikan kekehannya kemudian mengedikan bahu ringan lalu kembali menatap Rion dengan datar.
"Kapan gue pindah ke ruangan biasa lagi?" tanya Rion, melupakan masalah sebelumnya, mungkin memang sifat jutek itu adalah bawaan lahir abangnya, soalnya jika disebut membenci Rion, perlakuan Bilal tidak mencerminkan benci.
"Tenang aja, nanti malem tidur di kamar lo kok, gak akan di sini."
"Kamar gue? Kamar gue di rumah kali. Kapan gue bisa pulang?"
"Udah ngerasain muntah yang kayak kemaren, masih mau pulang sekarang-sekarang?"
Rion terdiam.
"Gue mati ya bentar lagi?" tanyanya kemudian.
"Nggak, harapan hidup lo masih tinggi," Bilal menyahut cepat, tapi tetap dengan intonasi yang tenang.
"Terus kenapa gue ada di sini? Kanan kiri gue kayaknya orang-orang sekarat semua."
"Kondisi lo kemaren juga sama. Tapi sekarang udah baik. Sabar sebentar, nungguin konfirmasi dari Dokter Spesialis dulu, baru pindah ke ruangan biasa."
Rion menghela napas panjang, memandang ke sisi lain ruangan yang tidak ada sofa atau televisi, hanya ada berbagai alat-alat medis.
"Jangan mikirin mati. Bisa aja umur lo lebih panjang dari gue. Lo ada di tangan-tangan yang tepat, tenang aja," Bilal menambahkan celotehannya.
"Kalo gue dikasih kesempatan kedua buat hidup sehat lagi. Gue kayaknya mau ngambil kuliah lagi dah, FK," kata Rion sembari menggerakkan bola mata, menujukan pandang kepada abangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.