48

3.1K 392 63
                                    

Rion duduk bersila di tepi ranjang dengan senyuman kecil yang sejak tadi pagi terpatri di bibir keringnya.

Dia senang karena tubuhnya sedang tidak berbalut piyama. Sudah lama rasanya tidak memakai pakaian ala 'ngampus'-nya: jeans dan kaus pendek atau kadang tanpa lengan, yang dibalut jaket. Sepatu converse yang di pinggirannya bertuliskan nama 'Clarion' juga turut membalut kaki yang sedang bersila itu. Sepatu khas ngampus Rion: di pinggiran outsole-nya pasti ada namanya yang ditulis tangan memakai spidol.

"Nanti pulangnya ke rumah gak, Yah?"

"Nggak lah. Kan, belom dikasih izin pulang."

"Kapan dikasih izinnya? Udah mau tiga minggu di sini."

"Sabar, nanti sebelum lebaran pokoknya udah pulang ke rumah."

Rion menghela napas.

"Mau gimana lagi," katanya.

Ya, tidak ada yang bisa dilakukan, selain menyabarkan diri sendiri.

Hari ini Rion akan ke kampus, ada panggilan dari dosen pembimbingnya yang ingin Rion, Adam, Yuzi, dan Gazza menghadap kepadanya. Bukan untuk bimbingan, entah untuk apa. Tapi Rion cukup bersemangat, walaupun ada sedikit rasa takut juga, karena dua-duanya dosen pembimbing mereka pasti tahu kalau Rion lebih banyak sakit daripada ikut berkontribusi pada tugas akhir yang dikerjakan secara tim. Takut kalau panggilan ini sebenarnya untuk dirinya.

Tinggal menunggu Dokter visite, sebelum pergi. Rion sudah tidak tersambung dengan semua cairan infus, yang biasanya 24 jam masuk ke dalam tubuhnya melalui PICC line yang ada di lengan atas-nya, yang sekarang PICC line itu ditutup dengan penutup berbahan elastis yang berbentuk jaring-jaring halus. Perawat yang memberikan penutup itu sebelum tadi Rion membalut tubuhnya dengan jaket.

"Gak akan lama, kan, di kampusnya?" tanya Hardian.

"Kenapa? Ayah ada kerjaan? Gak pa-pa, beresin dulu aja kerjaannya, tinggalin aku di kosan Gazza."

"Maunya kamu itu. Ayah gak ada kerjaan. Cuma, kan, kamu dikasih waktu maksimal dua jam ada di luar. Perjalanan ke kampus aja sekitar 45 menitan satu kali jalan."

"Telat dikit gak pa-pa kali, Yah. Aman kok," kata Rion.

"Aman-aman. Bikin Ayah panik lagi awas kamu!"

Rion melebarkan senyuman mendengar ayahnya menggerutu.

Sejujurnya, di balik antusiasme-nya, Rion juga lebih ingin rebahan saja seharian ini, karena dia sedikit tidak yakin tubuhnya sudah sanggup untuk diajak beraktifitas keluar. Tapi mengingat, dia jarang ikut menghadap dosen pembimbing, Rion tidak bisa terus-terusan meminta keringanan, nanti kalau lulus, jatohnya dia jadi lulus jalur iba. Nanti bisa-bisa muncul berita di akun socmed kampus: segenap dosen pembimbing dan penguji bekerja sama meluluskan seorang mahasiswa yang terlihat sekarat.

Kan, tidak adil untuk yang lain.

.

Lena datang ke rumah sakit membawakan tas ransel Rion dengan segala perlengkapan sesuai dengan yang dipinta putranya.

"Bunda udah pesen ke Gazza supaya kamu gak lepas dari kursi roda."

"Bun, aku itu masih bisa jalan, cuma lemes aja, jadi harus dibantuin."

"Bunda gak mau denger kamu pulang pake ambulans," kata Lena yang terdengar ada nada penekanan pada suaranya.

Rion tidak menyahut. Sadar diri, sudah beberapa kali berangkat ke kampus dalam keadaan baik-baik saja kemudian pulangnya dibawa ambulans--terkapar di brankar pesakitan.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang