Lena dan Hardian izin pergi ke kantin, sengaja agar Rion berdua dengan Bilal, mereka sudah membicarakan masalah ini. Sebagai orang jaman dulu yang tidak begitu paham dengan istilah anxiety dan semacamnya itu, Lena dan Hardian menyerahkan masalah ini kepada para yang lebih muda--yang lebih mengerti, nanti orang tua menuruti arahan dan memberikan dukungan dalam bentuk kasih sayang saja.
Setelah kedua orang tuanya keluar dari ruang rawat, Bilal bangkit dari duduknya, meregangkan tangan sembari melangkah menghampiri ranjang. Sebenarnya dia belum tahu akan mengobrol bagaimana dengan Rion, tahu sendiri Bilal tidak pandai mengobrol yang bersifat intim, apalagi dengan Rion.
"Bang," panggil Rion.
"Hm?"
Bilal otomatis menoleh dengan alis terangkat. Kemudian menarik kursi yang ada di samping ranjang, duduk santai di sana.
"Apa?" tanyanya sambil menahan diri agar tidak terlalu antusias. Ya, tugasnya mengajak Rion mengobrol, tapi Bilal harus tetap santai, jangan sampai terlalu menggebu.
"Cara biar gak overthinking gimana, ya?"
Seolah diberi jalan, tak disangka Rion membuka obrolan tentang apa yang ingin Bilal obrolkan. Tapi, saat ini otak Bilal malah kosong. Perihal overthinking dan teman-temannya, dia tidak begitu paham sebenarnya. Harusnya Maira yang ada di sini, Bilal yakin perempuannya itu lebih paham.
"Kenapa emangnya?"
Bilal melontarkan pertanyaan basa-basi dulu, selagi menunggu otaknya bekerja.
Rion menghela napas. "Katanya gue sering sesek napas akhir-akhir ini gara-gara kebanyakan pikiran. Iya sih, gue mengakui. Pikirannya dateng tanpa diminta abisnya. Jadi beban sendiri ya, kalo gitu. Tapi ya gimana, gue harus apa?"
Bola mata Rion melirik Bilal, menatapnya meminta jawaban.
"Apa yang bikin lo overthinking?" tanya Bilal, masih basa-basi karena dia sudah tahu jawabannya dari obrolan dengan Erlin dan Rafli kemarin.
"Sekarang-sekarang ini, yaa... tentang sidang nanti. Ya, biasa sih, semua mahasiswa juga sama kepikirannya, cuma, yaa... gue agak lebay emang, ya."
Bilal menatap Rion dengan tatapnya yang tenang tapi tajam, tidak puas dengan jawaban Rion yang malah menyalahkan diri.
"Lo overthinkingnya gimana? Takut gak bisa jawab pertanyaan penguji?" tanya Bilal, nada bicara yang menandakan ke-tidaksabarannya mulai terpancing keluar, ngobrol berputar-putar begini memang tidak cocok untuknya.
Rion mengayunkan kepala. "Ya, itu salah satunya."
"Terus yang lainnya?"
Rion menurunkan pandang, mulutnya mengatup, seperti tidak mau menjawab.
"Yong, gimana gue mau kasih tahu caranya biar lo gak banyak pikiran, kalo gue gak tahu apa yang lagi lo pikirin."
Mungkin kalau Erlin ada di sana dia akan menegur Bilal, salah sekali mempercayakan tugas ini kepada Bilal yang kesabarannya tipis, tidak pandai bersikap lemah lembut. Sebagai Dokter yang lama bertugas di IGD, Bilal terbiasa untuk menjadi tegas, baik dalam tindakan maupun dalam hal bicara.
Rion masih menujukan pandangnya pada selimut.
"Bisa gak nanti pas hari sidang, gue dibikin sanggup napas sendiri tanpa bantuan alat, terus kuat jalan tanpa harus pake kursi roda? Gue mau jadi Iyong yang normal, dua hari itu aja. Gue gak bisa kalo harus kayak gini."
"Gak bisa. Lo butuh bantuan oksigen, lo butuh kursi roda. Jadi, yang lo takutin itu pandangan orang? Lo gak percaya diri?"
Rion mengangkat pandangnya, menatap mata abangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.