45

4.2K 429 54
                                    

Rion terbaring di ranjang IGD dengan sebelah kaki ditekuk, rasa sakitnya masih terasa menyiksa, tapi kali ini dia tidak ingin mengeluarkan banyak keluhan, semua keluhannya ditahan di dalam hati.

Lena terus menggenggam tangan Rion.

"Abang ke mana, Bun?" tanya Rion sembari membuka matanya.

"Gak tahu, kenapa?"

Rion menggeleng kemudian kembali memejamkan mata.

"Uhukk... uhukk... uhuk."

Keningnya mengernyit dalam. Saat terbatuk dadanya sakit, tapi bagian perutnya lah yang sekarang terasa jauh lebih sakit.

"Masih sakit, ya?" tanya Lena.

"Sedikit," sahut Rion.

Tapi kernyitan di dahinya yang dalam menunjukkan rasa sakit yang dia rasakan itu tidak sedikit.

Lena mempererat genggaman tangannya.

"Adam, Yuzi, sama Gazza hari ini mau ke rumah. Jam berapa sekarang, Bun?"

Lena melihat jam di ponselnya.

"Jam 10."

"Mereka udah di jalan kayaknya. Aku pulang atau rawat inap, Bun?"

"Gak tahu, gimana kata dokter aja."

Rion mengangguk sambil memejamkan mata, menahan napas dan ringisan. Lalu dia coba menarik napas dalam dan meniupkannya perlahan melalui mulut yang mengerucut, berusaha mengatur napas dengan tekhnik yang katanya bisa meredakan nyeri, berharap kali ini tekhnik itu berhasil karena biasanya tidak berpengaruh. Rion tidak akan protes kalaupun dokter menyuruh untuk rawat inap--akan mengikuti bagaimana harusnya saja karena dia mau segera sembuh... mm, baikan maksudnya. Rion harus segera menyelesaikan project tugas akhir bersama teman-temannya, laporan individunya juga belum selesai.

"Takut deh, Bun," ucap Rion sembari mengangkat kelopak mata yang terasa gemetar. Rasa sakit di perutnya semakin terasa menusuk, bahkan sakit yang menyerang sekarang--sejak tadi--rasanya menusuk beberapa titik, tidak hanya di titik yang biasa dia rasa.

Lena ingin menangis, tahu kalau putranya sedang kesakitan, tapi tetap berusaha terlihat baik-baik saja.

"Takut apa?" tanya Lena sambil menatap lekat.

"Takut pendek umur."

"Jangan mulai, Yong. Ini Bunda dari tadi udah nahan nangis lho."

"Bun."

"Jangan lanjutin ngomong kalo kamu cuma mau nakut-nakutin Bunda."

Rion mengembangkan senyum lebar.

"Kalo aku mau ngomong aku sayang sama Bunda, nakutin, gak?"

Lena menegun. Harusnya dia terharu mendengar kalimat itu karena seingatnya ini pertama kalinya sejak melahirkan anak lelaki itu, dia mendengarnya mengucapkan kata sayang. Namun, di detik ini tidak sedikit pun ada rasa haru, hatinya justru terkuasai oleh rasa takut.

"Jangan ngomong hal-hal yang gak biasa kamu omongin ah, Yong. Merinding nih Bunda. Jangan aneh-aneh kamu."

"Orang ngomong sayang, kok aneh."

"Aneh kalo kamu yang ngomong."

"Nakal-nakal juga dari dulu aku sayang sama Bunda mah."

Lena memicingkan mata. "Gak percaya."

Rion terkekeh.

Tangannya menyentuh patch penghangat yang tertempel di permukaan kaos pendeknya, sekarang benda itu terasa hanya mengurangi 0,00001 % dari rasa sakitnya. Entah karena panasnya sudah mulai memudar atau rasa sakitnya yang semakin kuat.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang