83

2.3K 438 85
                                    

Lena dan Erlin menunggu di samping ranjang Rion yang masih berada di IGD.

Lena menyelipkan selimut ke belakang pundak putranya yang terbaring dengan kepala tempat tidur yang dinaikkan. Berkali-kali selimut itu turun, memperlihatkan bagian atas tubuh Rion yang tidak mengenakan pakaian, ada beberapa bantalan elektroda yang tidak ingin Lena lihat.

"Tidur di apartementnya Bilal aja, Kak," titah Lena.

Erlin yang terkantuk langsung membuka mata lebih lebar kemudian menggeleng.

"Aku keluar dulu ya, Bun, mau telepon Rafli, nanyain Al," kata Erlin yang kemudian bangkit dari duduknya.

Lena mengangguk.

"Mau pulang juga gak pa-pa, minta anterin sama Ayah."

Erlin melirik Rion yang tertidur, syukurnya sesak napasnya membaik.

"Yaudah, aku pulang deh ya, Bun," putus Erlin, setelah dipikir-pikir kasihan juga meninggalkan bayinya.

Erlin lalu mengulurkan tangan untuk berpamitan kepada Lena.

"Besok aku ke sini lagi," kata Erlin.

"Iya, Kak," sahut Lena, lembut.

Tanpa melihat lagi ke arah pasien, Erlin keluar dari tirai yang menutupi ranjang. Tidak ingin menengok lagi. Kata Dokter, kondisi adiknya baik, walaupun jika dilihat masih terlihat sangat miris.

-
-

Dijenguk oleh Dokter tercantik sekaligus calon pemegang tahta tertinggi di rumah sakit itu, Rion merasa seketika napasnya yang sesak menjadi sangat lancar jaya-jaya-jaya, rasanya seperti sedang disinggahi oleh seorang peri penyembuh. Senyuman manis dari perempuan berjilbab putih itu seolah mampu mengangkat rasa sakitnya.

"Di mata Iyong abang itu kayak gimana?"

Segala khayalan manis Rion buyar sudah.

Tiba-tiba Maira--Dokter Cantik--peri penyembuh yang duduk di samping ranjangnya melontarkan tanya yang melenceng dari topik pembicaraannya sejak beberapa menit yang lalu, daritadi Maira membicarakan tentang pasien-pasien kecilnya yang kuat dan lucu-lucu, tapi tiba-tiba terselip kata 'abang' yang terlontar sebagai pertanyaan, kata 'abang' yang menjurus ke Bilal.

Rion mengedikan bahu dengan acuh sebagai sahutan.

Maira terkekeh. Raut wajah pasien di hadapannya berubah seketika, senyuman yang sejak tadi terlihat manis--walaupun berada di balik masker oksigen, langsung lenyap.

"Sebagai anak tunggal, Kak Mai iri kalian punya Abang, apalagi Abang yang kayak Abang Bi. Menurut Kak Mai, Abang Bi itu Kakak yang sangat sangat sayang sama adik-adiknya. Walaupun emang gengsinya gede, tapi di balik itu Abang Bi selalu berusaha buat kasih yang terbaik buat kalian, terutama buat Iyong untuk saat ini. Abang Bi sayang banget tahu sama kamu."

Rion terdiam.

Belum sempat dia menanggapi, tapi memang tidak berniat untuk menanggapi. Pintu ruangan terbuka. Yang sedang dibicarakan masuk.

"Mai, ayok pulang, kamu butuh istirahat."

Maira menoleh. "Arti dari kata ayok?" tanyanya.

"Ya, aku yang nyetirin mobil kamu," sahut Bilal sembari melangkah.

"Kebiasaan. Biar aku pulang sendiri aja, Abang juga butuh istirahat."

"Ayok," ajak Bilal sambil mengambil tas gendong Maira yang ada di sofa. "Ayah sama Bunda ada di luar, sebentar lagi masuk ke sini."

Maira menghela napas. Selalu mementingkan orang lain, dibandingkan dirinya sendiri.

"Kak Mai pulang dulu ya, nanti jenguk lagi," pamit Maira.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang