Di hadapan batu nisan, seorang lelaki paruh baya bernama putra dan putrinya baru saja selesai membaca Yasin dan tahlil. Mereka bersama mengirimkan doa untuk sosok yang sangat berarti untuk mereka.
“Umma, Lubna sekarang udah lima belas tahun,” ucap gadis manis bernama Lubna itu.
Haidar tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Tidak menyangka jika lima belas tahun berlalu begitu cepat. Telah ia jalani lima belas tahun tanpa sang istri di sampingnya.
“Lubab juga Ma,” sahut laki-laki yang umurnya sama persis dengan Lubna, dialah saudara kembarnya.
“Selama ini, Mama Nana sangat menyayangi Lubna seperti anak kandung sendiri. Lubna nggak kekurangan kasih sayang sedikitpun Umma,” ujar Lubna dengan mata berkaca-kaca namun senyumnya masih terukir.
Sepeninggal Adiba, Lubna tinggal dan di asuh oleh Nana dan Albi sementara Lubab sendiri tinggal dan di asuh oleh Haidar.
“Kalau Lubab sendiri tumbuh bersama Mbah Ida dan Baba. Asal Umma, tahu, Lubab berhasil mengkhatamkan Al-Qur’an ketika umur Lubab beranjak sembilan tahun,” ujar Lubab sambil tersenyum.
“Meskipun Lubna nggak sepintar Lubab tapi Lubna mewarisi suara merdu Umma,” sahut Lubna tak mau kalah.
Haidar tersenyum mendengarkan ucapan kedua putra dan putrinya.
“Umma dulu sangat cantik, apalagi saat nikah sama Baba, Umma kelihatan imut dan menggemaskan,” ujar Lubna.
“Lubab senang bisa lihat wajah Umma meskipun hanya dari foto,” ujar Lubab.
“Iya, Lubna juga. Lihat foto Umma aja sudah sangat menyenangkan, apalagi lihat Umma secara langsung,” sahut Lubna.
Kelopak mata Haidar mulai penuh dengan bulir bening. Ia pun mengusapnya sebelum mengalir.
“Lubna kangen sama Umma meskipun belum sempat bertemu,” ujar Lubna dengan nada sendu.
“Lubna pengen merasakan kasih sayang dan pelukan Umma,” lanjut Lubna.
Haidar mengelus punggung putrinya. Berusaha menenangkan perasaan rindu Lubna gang menggelora. Sementara Lubab sendiri terdiam dengan perasaan campur aduk.
“Lubab dan Lubna sayang Umma. Maaf kalau kelahiran kamu membuat Umma dan Baba harus berpisah,” ujar Lubna terdengar parau.
Mendengar itu, sontak Haidar memeluk putrinya. Hatinya terenyuh mendengar ucapan permintaan maaf Lubna. Tak dapat di pungkiri, hatinya ikut sedih mengingat jika sosok istri telah lama pergi meninggalkannya.
“Lubna nggak salah nak. Allah lebih sayang Umma,” kata Haidar mencoba menenangkan putrinya.
“Iya Ba, tapi kalau bukan karena kami pasti Baba dan Umma masih bisa bersama,” ucap Lubna.
“Sudahlah Na. Umma sudah tenang dan bahagia di sana,” sahut Haidar tidak ingin anaknya merasa bersalah.
“Pasti berat ya Ba, menjalani lima belas tahun tanpa Umma?” ujar Lubna membuat hati Haidar semakin pilu.
Haidar tidak merespon ucapan Lubna. Ia hanya memeluk dan mendaratkan ciuman di kening putrinya dengan sangat lembut.
Setelah selesai ziarah, Haidar pulang bersama Lubab dan Lubna ke kediamannya.
“Lubna, kamu mau melanjutkan sekolah di mana?” tanya Haidar.
“Di Fathul Ilmi aja Ba, kayak Umma,” jawab Lubna sambil tersenyum.
Haidar mengangguk sambil tersenyum. Melihat Lubna seperti melihat Adiba ketika masih remaja. Pahatan wajah dan gaya bicaranya sangat mirip. Ia teringat bagaimana manja dan lucunya Adiba ketika ia menikahinya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner Syurga (TERBIT)
Romance"Aku memang bukan lelaki idaman para wanita tapi aku berjanji akan berusaha menjadi satu-satunya lelaki idamanmu." _Haidar Al-Faraby Menikah muda memang bukan impian Ning Adiba sama sekali tapi apa yang tidak di inginkan belum tentu menjadi hal terb...