Part 56 - Trauma

794 89 3
                                    


Setelah kejadian malam itu, Lidya menjadi pendiam dan takut untuk bertemu keluarganya sendiri. Papa Reynand dan Mama Linda harus rela jika mereka menjaga jarak sampai 1 meter agar Lidya tidak mengalami trauma kembali. Setiap Papa Reynand dan Mama Lidya mendekati Lidya, badan Lidya langsung merespon bergetar, menutup mata dan lupa dengan cara bernafas. Lidya selalu membayangkan wajah Rendra yang memukulnya dengan sadis jika melihat keluarganya.

Dikarenakan Lidya takut dihukum dengan keluarganya, saat dipukuli oleh Rendra ia lebih memilih untuk bertahan dan membiarkan dirinya terluka. Yang secara tidak sadar membuat dirinya menjadi trauma akan keluarganya sendiri. Segala perlengkapan yang dibutuhkan Lidya saat ini dipersiapkan oleh suster, supaya ia tidak mengalami trauma kembali.

Jane yang melihat adiknya sangat takut dengan dirinya sangat merasakan sedih dan memikir beribu cara agar badan serta hati adiknya luluh. Jane membawa botol susu milik Lidya dengan susu rasa coklat di dalamnya, mungkin ini bisa mengingatkan Lidya kembali kalau kakaknya yang satu ini sangat sayang kepadanya serta selalu memberi dirinya susu. Si bungsu hanya melihat kakaknya dari kejauhan sambil memegang botol susunya dan Lidya hanya menunjukkan wajahnya yang datar.

"Mau?" tanya Jane sambil menggoyangkan botol susunya ke arah Lidya

Lidya langsung membuang mukanya dan tidak merespon yang Jane lakukan. Di dalam hati si bungsu ia tiak mau menolak susu coklat tersebut namun melihat di ruangan tersebut ada suster yang merawatnya, ia gengsi dan malu. Jane pun berinisiatif memindahkan susunya di gelas, ia meletakkan susunya di meja dekat tempat tidur Lidya.

"Dek, diminum susunya. Udah kakak taroh gelas" Jane tetap menawarkan susunya dengan tetap menjaga jarak dengan Lidya

Lidya yang melihat susunya sudah ada di gelas langsung mengambil dan meminumnya dengan cepat. Sampai ia tidak sadar kalau susunya kembali menetes sampai leher. Dengan sigap, Jane mendekat sambil mengelap leher serta mulut Lidya yang belepotan

"Ternyata gak berubah" Jane menampilkan senyuman yang membuat Lidya hanya terdiam dan menundukkan wajahnya

"Maaf, udah mendekat. Nanti kalau belepotan kamunya yang susah ngeberesinnya" Jane melanjutkan kata-katanya walaupun Lidya tidak menatapnya.

"Makasih" Lidya menggunakan nada datarnya sambil memunggungi badan Jane.

Jane serta keluarga lainnya yang mendegar ucapan terima kasih dari Lidya hanya tersenyum. Menurut mereka ini adalah suatu peningkatan. Setelah kejadian itu, Jane dengan rutin memberi susu seperti dahulu. Lidya yang awalnya bersikap dingin menjadi luluh karena otaknya kembali mengingat kejadian-kejadian baik antara Jane dengan dirinya.

Memang bisa dilihat, dari Jian serta Rachel. Jane dan Lidya memang dekat walaupun Jane mempunyai sifat yang galak terhadap adiknya. Di saat Opa Frank mengurung Lidya di kamar, hanya Jane yang sabar menghadapi keras kepala Lidya. Yang biasanya Jane marah-marah terhadap Lidya, di saat tertentu Jane membiarkan Lidya marah-marah agar adiknya bisa meluapkan perasaan kesalnya.

Lidya secara sadar mengingat kembali moment-moment tersebut tapi dirinya tidak mau mudah luluh kepada keluarganya kali ini. Menurutnya sangat cukup untuk dirinya menoleransi sifat-sifat keluarganya yang selalu menghukum dirinya walaupun kesalahannya tidak ia perbuat.

Si bungsu hanya bisa membuka matanya dan melihat keluarganya yang masih terduduk di sofa sambil memakan sarapan yang sudah mereka beli. Lidya memang sudah lapar namun makanannya belum datang dan suster yang menjaganya sedang menyiapkan sarapan untuk dirinya. Jane sudah melihat wajah adiknya gelisah dan ia bergerak untuk membuat susu.

"Minum dulu susunya, kamu lapar? Mau makan sarapan kakak dulu?" Tanya Jane sambil meletakkan susu di meja.

Lidya tidak menjawab pertanyaan Jane namun tangannya mengambil susu yang ada di meja. Lagi-lagi Jane membersihkan leher serta mulut Lidya yang sudah belepotan karna minum susu.

"Kakak panggil susternya ya" saat Jane ingin memanggil susternya, ia langsung memegang ujung kaos Jane dengan pelan

"Laper" bisik Lidya yang membuat Jane hanya tersenyum.

Untungnya Jane memang membeli sarapan lebih untuk Lidya, ia berfikir jika si bungsu tidak ingin memakan sarapan dari rumah sakit maka sudah ada makanan yang tersedia untuk Lidya. Jane dengan perlahan membuka sandwich untuk Lidya.

"Ini sayurnya cuman tomat aja kok" Jane memberikan Lidya roti berisi daging dan dengan secara perlahan Lidya menerima suapan yang diberikan oleh Jane.

Sebenarnya Lidya juga harus tersiksa di saat badannya memberi reaksi lebih di saat dekat dengan Jane namun otaknya selalu mengingat bahwa Jane orang yang baik di keluarganya. Jane yang melihat Lidya bersusah payah untuk menahan traumanya hanya bisa menjaga jarak kembali dan meletakkan makanannya di meja

"Jangan dipaksa, makan sendiri ya. Kakak panggilin susternya" Lidya kembali menarik baju Jane dengan pelan

"Maaf.. Kakak aja di sini" Jane hanya tersenyum melihat Lidya yang meminta dirinya untuk tetap di sampingnya walau tidak menatap Jane

Papa, Mama, Jian serta Rachel hanya bisa terdiam melihat sikap Lidya yang mudah luluh dengan Jane. Sedangkan jika dengan yang lain, Lidya tidak melakukan itu. Dari semua anggota keluarga Radifan, reaksi Lidya terhadap Papa Reynand lah yang terparah. Karena Lidya bisa saja teriak dengan keras jika Papa Reynand mendekatinya. Di dalam ingatan Lidya, Papa Reynand selalu mengomeli dan bertindak dengan tegas jika ia salah, ingatan Lidya selalu mengarahkan ke kejadian tawuran yang sebenarnya tidak Lidya lakukan.

Semakin hari hubungan Jane dan Lidya dekat, bahkan Jane tidak diizinkan Lidya untuk ke toilet walaupun hanya sebentar

"Adekk.. Kakak cuman sebentar mau ke kamar mandi" Jane sudah menahan pipisnya daritadi dan adiknya hanya mengenggam ujung baju Jane dengan erat menggunakan tangan kirinya karena tangan kanannya masih sakit

"Gak boleh" Lidya menggunakan nada datarnya

"Masa kakak pipis di sini?" Lidya hanya diam dan tidak merespon pertanyaan kakaknya

"Kakak cuman sebentar, ada kak Rachel, Kak Jian sama Mama di sofa yang bisa jagain kamu" Papa Reynand saat ini memutuskan untuk pulang terlebih dulu mengambil pakaian dan menjaga jarak dengan Lidya, ia tidak mau kalau Lidya berteriak jika Papa Reynand ada di ruangan tersebuy

"Gak boleh tutup pintu kamar mandinya" kebetulan kamar mandinya memang menghadap kasur Lidya, jadi ia bisa melihat siapa saja yang ingin ke kamar mandi

"Astagah adek" Jane sudah frustasi dengan tingkah laku adiknya yang posesif dan Jian serta Rachel hanya bisa tertawa dalam diam karena mereka tahu kalau Jane malu

"Okay kakak ga kunci pintunya, boleh pipis sekarang kan?" Jane menunjukkan senyuman terpaksanya karena pipisnya sudah diujung

"Ga boleh tutup pintu kamar mandinya, bukan kunci pintu" Lidya membenarkan kata-kata kakaknya, ia tidak mau ditipu oleh kakaknya

"Iyaa... Iyaa.. Kakak gak tutup pintu kamar mandinya. Boleh kan? Kakak udah gak tahan adek! Wajah Jane sudah memerah namun tetap memberi senyum agar si bungsu tidak marah serta ngambek.  Dan untungnya Lidya menganggukkan kepalanya.

Dengan cepat Jane membuka kamar mandi serta membiarkannya terbuka dengan jelas Lidya melihat wajah kakaknya yang berubah menjadi lega karena sudah melepaskan pipisnya. Jane langsung malu saat melihat adiknya yang sedaritadi memang melihat dirinya pipis dengan wajah datarnya

"Haish, biasanya mah gue yang giniin dia. Kenapa jadi kebalikkan" batin Jane


---------------------------------------------------------------------------------------------


Hayo setelah ini apakah Papa Reynand yang berhasil buat Lidya ga teriak lagi dan bisa nyembuhin trauma si bungsu?

Affection (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang