16. PEMBUNUH?

50 6 0
                                    

An menepuk-nepuk pundak Alin yang tak bersuara sedikitpun selama perjalanan mereka menuju ke rumahnya.

"Jangan dipikirin, Lin."

"Menurut lo, Tifa bakalan beneran pindah, An?"

Tersenyum tipis, An menyuruh Alin untuk segera pulang karena hari semakin larut. Setelahnya segera ia masuk ke dalam rumah. An masih harus bekerja setelah ini.

"Kamu makin sering pulang hampir larut begini Annas."

An menghela nafas, kembali menutup pintu lalu mengarahkan pandangannya pada jam yang menempel di dinding.

"Mandi dulu ya Bu, nanti sisanya An kerjain selesai mandi."

"Piring kotor di dapur udah numpuk banget itu. Kamu cuci dulu baru mandi."

"An mandi dulu yah Bu, nanti masih harus ngajar."

"Kamu cuma di suruh cuci piring aja banyak alasan, An. Ibu udah cape seharian, kamu di suruh bantu sedikit aja susahnya minta ampun."

"Bukan ga mau, An bilang sebentar Bu."

"Halah, ga usah banyak alasan. Kalau ga mau bilang aja ga mau."

"Bu, An cape baru pulang. Ini juga masih harus ngajar, An cuma mau mandi dulu biar seger."

"Sekarang kamu ngeluh capek?" Wanita yang berusia pertengahan empat puluh itu mendelik tajam.

"Kamu sekolah untuk diri sendiri, An. Pulang sampai se-sore ini juga tidak membuat kamu pintar, kamu tetap bodoh dan selalu di peringkat terakhir."

Kali ini An tak berniat menjawab, ia langsung berjalan ke arah dapur untuk melakukan apa yang ibunya inginkan masih dengan seragam yang melekat ditubuhnya.

Benar memang, pulang sampai sangat sore pun ia tetap saja tidak bisa menjadi gadis yang pintar. Tidak pernah mendapat peringkat dua puluh besar di sekolahnya meskipun sudah terus belajar.

"Kadang ibu ga ngerti sama kamu An, pulang sampai sore begini memang benar belajar atau kamu hanya sedang menjual diri."

Kedua sudut bibir An tertarik membentuk senyum miris. Rasanya seperti ibunya juga membenarkan apa yang di katakan orang-orang di sekolahnya hari ini. Bagaimana orang-orang mengatakan ia gadis murahan karena foto yang tersebar. Juga bagaimana perkataan Om Angga saat menyindirnya karena ia adalah gadis bodoh.

╏⁠ ⁠"⁠ ⁠⊚⁠ ͟⁠ʖ⁠ ⁠⊚⁠ ⁠"⁠ ⁠╏

An dan Alin hanya terdiam menatap Satifa yang juga hanya diam. Kini mereka berdiri di gerbang sekolah dengan pakaian olahraga, kecuali Satifa tentunya yang kini memakai dress selutut berwarna biru laut.

"Gue janji bakalan sering hubungi kalian."

"Kalau ada apa-apa kabarin kita." Kata Alin memeluk Satifa.

Satifa langsung mengangguk, membalas pelukan dari Alin.

"Gue takut." Gumam Alin.

An mendengar ucapan yang sangat pelan itu. Tangannya terangkat menyentuh pundak Alin, diusapnya pelan pundak yang sudah beberapa hari ini selalu merosot.

"Ayo kita takut bareng-bareng."

"Janji lo bakal terus kabarin kita, ya, Tif."

"Bakalan terus gue kabarin setiap saat, sampe kalian berdua ga bisa tenang karena notif dari gue."

"Inget waktu masih jadi jablay Lo janji bakal tetep temenan sampai kapanpun."

OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang