20. Rumah Sakit

26 4 0
                                    

"Siapa yang mau jelasin?"

Yura menghela nafas saat empat gadis di hadapannya hanya diam.

"Gue masih tanya baik-baik. Jangan pancing gue."

Dengan tubuh bersandar pada dinding, Ken tersenyum miring menatap Yura yang tampak sangat marah itu.

"Kak, gu_ gue, gue cuma itu, cuma, emm, cuma_."

"Ngomong yang bener! Jangan nguji kesabaran gue."

"Denger. Gue ga terlibat, gue cuma bareng mereka karena harus jalanin tugas dari kak Acha besoknya. Lo tau, kan? Bisa gue pergi sekarang?"

"Lo lihat apa yang mereka lakuin ke An, dan lo cuma diem?"

"Terus lo mau gue ngapain? Dia sendiri aja cuma diem dan ga bisa ngelawan."

"Lo tau gimana sifat An! Kalau lo masih punya hati harusnya Lo bantu dia dari mereka!"

"Lo tau sifat An?" Kiara menarik sudut bibirnya melihat Yura yang terdiam.

Yura menghela nafas, ia beralih menatap gadis yang tadi belum sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Lo?"

"Gue cuma di suruh pegangin kak An kak."

Yura tertawa keras, "lo masih kelas sepuluh. Lupa lo siapa An? Kalau An mau, dia bisa keluarin lo tanpa alasan!"

Ken menarik Yura yang hendak menarik gadis itu. Ia menggeleng pelan, pertanda Yura harus berhenti.

"Gue udah periksa nomor yang kirim pesan itu. Sekarang Azka lagi coba lacak."

"Gue pikir lo cukup pintar untuk sadar kalau kak Ze ga akan pernah tertarik sama cewek kaya lo."

╏⁠ ⁠”⁠ ⁠⊚⁠ ͟⁠ʖ⁠ ⁠⊚⁠ ⁠”⁠ ⁠╏

"Operasi?" Beo An yang tampak terkejut.

"Tidak usah khawatir, ini hanya operasi kecil."

"Tapi dok, dia pingsan. Jadi gimana mungkin dokter mau operasi dia tanpa persetujuannya ataupun keluarganya, kan? Saya belum menghubungi orang tuanya."

Dokter wanita yang berusia awal empat puluhan itu tersenyum maklum.

"Saya sudah menelepon orang tuanya, dan mereka sudah menyerahkan semua keputusan pada saya, karena saya adik ayahnya Zean."

Dokter itu lalu pergi dari hadapan An yang terdiam di tempatnya. Tadinya An diberi tahu bahwa Ze terkena usus buntu dan itu akan segera pecah jika tidak di operasi sekarang.

An ingin pulang, tapi saat ini tidak ada siapapun yang menemani Ze di rumah sakit. Ia segera mengeluarkan ponselnya untuk memberi kabar pada orangtuanya kalau ia akan pulang terlambat, namun sial, ponselnya mati karena kehabisan baterai.

"Sialan." Gerutunya kesal.

An menggigit bibirnya kuat, bahkan dia tidak sempat mengabari siapapun karena tadi sangat panik saat Ze tak sadarkan diri saat di dalam taxi.

Saat beberapa perawat membawa Ze keluar dari ruang ICU, An langsung mengikutinya. Sedikit bersyukur saat dilihatnya Ze sudah tak terlalu kesakitan lagi.

An menghentikan langkah saat para perawat itu membawa Ze masuk ke ruang operasi. Menarik nafas kuat, An duduk di kursi tunggu dengan mata terpejam saat operasi telah dimulai. An tidak tidur, ia hanya memejamkan mata hingga tak sadar telah lama waktu berlalu.

"Operasinya lancar."

An membuka mata secara perlahan mendengar suara lembut itu. Dihadapannya dokter yang tadi mengaku sebagai tante Ze itu tersenyum, melihat itu sontak An langsung berdiri dari duduknya.

OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang