46. The Past

14 1 0
                                    

An menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka. Tersenyum tipis menatap Satifa yang masuk.

"Udah jam sebelas gini belum tidur."

"Dari mana aja?" An bertanya mengabaikan ucapan Satifa sebelumnya.

"Gue ada urusan sebentar tadi." Satifa celingukan kesana-kemari, "Atha di mana?"

"Gue suruh nyari lo."

"Telpon gih, bilang gue udah di sini."

"Dia ga bawa HP. Ntar kalau udah cape juga balik."

Satifa menghela nafas, kakak yang satu ini memang sangat tidak perhatian pada adiknya sendiri. Namun mengabaikan itu, Satifa duduk di samping An. Menatapnya intens, membuat yang ditatap merasa aneh.

"Sejak kapan deket sama Vino sama Zean?"

"Sejak gabung OSIS, kan gue jadi harus ketemu mereka setiap hari."

"Jangan pura-pura bego An, lo tau maksud gue."

"Ga deket, tapi Vino beberapa kali bantu gue."

"Kesana-kemari bareng kata Lo ga deket?"

"Ya karena harus bahas tugas."

Satifa berdecak sebal, sepertinya An memang belum ingin bercerita. Ia mengangguk saja, tak ingin bertanya lebih.

"Lo makin kurusan, An. Kan gue udah bilang, stop jadi babu sekolah. Lo tuh udah kurus, jadi makin kurus gini kan."

"Lo dapat tawaran buat gabung, kenapa di tolak?"

Satifa menguap lebar, ia berdiri menggeser tubuh An yang masih duduk di tempatnya.

"Gue ngantuk. Geseran dikit, mau ikut tidur di sini."

"Gue nanya, Tif."

"Gue ngantuk, besok aja di bahasnya. Gue sejak balik wajib tidur jam sembilan, jadi udah ga bisa begadang lagi."

An ingin tak percaya, mengingat Satifa bahkan bisa tak tidur seharian. Namun melihat Satifa langsung terlelap setelah ia bergeser dan memberikan ruang membuat An menghela nafas. Ia menepuk-nepuk pundak Satifa yang kini tengah memeluk perutnya karena posisinya masih duduk.

Berulang kali menarik nafas, An rasanya tak bisa tidur. Ia cukup lelah karena harus tidur sepanjang hari saat orang-orang melakukan kesibukan.

Lagi-lagi ucapan pertama Ze setelah ia sadarkan diri beberapa hari lalu yang menjadi pikiran An.

"Lo ingat gue, kan?"

Dahi An mengkerut mengulangi kalimat itu. Ia memejamkan mata, tubuhnya bersandar dengan tangan masih menepuk-nepuk pundak Satifa. Memejamkan mata seperti itu membuat An kembali pada masa-masa dulu yang pernah ia lewati.

"Cantik."

An menghela nafas, pujian seperti itu sudah sering ia dengar dari para pelanggan sejak ia bekerja di sini hampir satu tahun lamanya. Dan para cowok yang memujinya hanya untuk menjahili saja, itu sungguh sangat menyebalkan.

Namun apa yang bisa An lakukan selain tersenyum? Ia harus menahan diri agar bisa tetap bekerja di sini.

"Mau jadi pacar gue ga?"

Jantung An berpacu dengan cepat saat salah satu dari mereka menggenggam tangannya. Entah apa para cowok itu menyadarinya atau tidak, saat ini tubuh An bergetar ketakutan.

Sudah satu tahun lebih ia tidak melakukan kontak fisik dengan laki-laki manapun. Tidak pada ayahnya, tidak pada adiknya yang masih berusia sepuluh tahun, tidak pada Gamma, tidak juga pada Aiden.

OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang