"Ini bukan tentang Lo, Ze, sama An. Ini kerja sama antar dua sekolah."
"Gue bisa ngelakuin lebih dari ini buat An. Dan gue ga yakin sekolah gue mau kerjasama untuk sekolah yang siswanya sampah semua."
"Ga! Persiapan udah hampir setengah."
Gamma melangkah pergi meninggalkan Mada yang masih menatapnya tak terima. Namun baru beberapa langkah, sosok Acha dan Febi menghalangi jalannya yang ingin keluar dari cafe.
"Kak_,"
Febi tak jadi berujar melihat Gamma menaikkan tangannya dengan mata terpejam.
"Jangan buat gue mukul Lo lagi, Febi."
"Itu cuma rumor, Lo ga bisa seenaknya batalin kerjasama."
"Sepupu gue di tahan polisi buat jadi kambing hitam dari apa yang kalian semua lakuin, dan itu cuma rumor? Kalian bunuh temennya, kalian bikin temannya hilang kabar. Itu juga rumor?"
"Sebelum malam An pasti udah pulang, bokap gue yang nanganin kasus itu. Dia ga akan nginap di sana. Gue bisa pastiin." Suara Mada kembali terdengar.
"Media? Nama An ada di mana-mana sekarang."
"Kita bisa hilangin rumor itu, gue sama anak-anak juga ga mau An yang bertanggung jawab. Ga ada satupun dari kami yang mau An ngalamin hal kaya gini."
Gamma menatap Mada tak percaya, ia menggeleng dengan satu bibir tertarik keatas.
"Kalian yang nyerahin bukti itu, sekarang kalian bilang kalian ga mau An ngalamin ini?"
"Bukan kita, Kak. Itu anak-anak B. Kita bahkan baru tau pagi tadi kak An di tangkap."
"Savia maksud Lo?" Nama itu terucap begitu saja dari mulut Gamma, mengingat bagaimana bencinya Savia dengan An sejak masih anak-anak dahulu.
"Anna."
"Mereka temenan dari kecil." Gamma menyahut spontan.
"Izinin An ketemu kita, gue pastiin namanya bersih di seluruh dunia."
╏ ” ⊚ ͟ʖ ⊚ ” ╏
An menatap layar televisi yang tengah memberitakan namanya dengan kedua sudut bibir sedikit terangkat. Di sampingnya tampak Satifa berulangkali menghela nafas, gadis itu lelah menyuruh An untuk masuk ke kamar.
Dua jam sudah berlalu sejak Gamma menjemputnya pulang. Kini An paham, ia bukannya akan di tangkap menjadi tersangka. Melainkan hanya sebagai alat pengalihan bagi media. Agar nama anak-anak dari keluarga ternama tidak lagi disebut, mereka menjadikan An kambing hitam.
An merasa Gamma kali ini sangat marah, pemuda itu tidak mengucapkan sepatah katapun padanya. Bahkan setelah mengantarkan An pulang ke rumahnya, ia pergi begitu saja tanpa mengatakan akan kemana, atau kapan ia akan kembali.
"Gue kangen Alin sama Yumna."
Satifa menoleh mendengar An mencicit pelan. Tatapan gadis itu masih kearah layar televisi, di sana ada foto Yumna terbaring di lapangan sekolah, juga Alin yang berada di mobil yang sudah rusak parah. Meski wajah mereka tak terlihat, Satifa dan An sangat mengenalinya.
Mengambil remote yang ada di genggaman An, ia mematikan televisi itu begitu saja. Dapat ia lihat tatapan tak terima dari temannya itu.
"Gue mau ngomong sesuatu, An. Penting."
Kali ini An yang menghela nafas, ia mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS
Teen Fiction"Semua orang di sini tahu, tidak mudah untuk bergabung OSIS di sekolah ini. Bahkan setelah kalian berhasil lolos kalian tetap akan menjalani ujian setiap bulannya." ••• "Curang! Mereka orang yang curang!" "Pembunuh! Kalian pembunuh!" "Orang-orang so...