27. Second

19 2 0
                                    

"Ze Baru keluar dari rumah sakit, bisa-bisanya kamu suruh dia belajar mas!"

"Apa lagi tugas anak itu selain belajar? Mau malas-malasan dia? Kamu tidak tahu seberapa menyebalkan rekan-rekanku saat membandingkan Gio yang nilainya lebih tinggi daripada anak itu."

"Dengar mas, Ze harus segera pulih agar bisa berlatih basket lagi."

"Untuk apa dia mengikuti hal-hal yang tidak berguna seperti itu? Kamu ingin dia menjadi seperti cinta pertama kamu itu?"

Melihat lawan bicaranya hanya terdiam, ia berdecih pelan lalu pergi begitu saja meninggalkan wanita yang berstatus istrinya. Setelah kepergian suaminya, wanita itu menghela nafas lalu masuk kedalam kamar anak semata wayangnya.

"Sudah minum obat?"

Ze tak menyahut, ia justru membaringkan tubuhnya dan di tutupnya mata dengan lengannya.

"Kamu ga perlu belajar terlalu keras, urusan papa kamu biar mama yang urus."

Tak mendapati jawaban apapun, ia mendengus kecil.

"Mama ngomong sama kamu, Zean Angkasa."

Ze mendudukkan diri, menatap sang mama dengan malas.

"Ma, Ze ga perduli mau papa suruh terus belajar untuk bisa di banggain sama rekan kerjanya, Ze juga ga perduli mama terus-terusan suruh Ze main basket untuk bisa jadi kaya cinta pertama yang selalu kalian sebut. Tapi jangan berantem di depan kamar Ze, itu menganggu."

Ze bangkit, mengambil ponsel dan kunci motor yang tergeletak di nakas. Keluar begitu saja tanpa berpamitan.

"Zean kamu mau kemana? Kamu belum sembuh total!"

Menulikan telinga, Ze turun melalui anak tangga dengan sedikit berlari. Keluar rumah, ia duduk di atas motor merah kesayangannya, mengaktifkan ponsel yang seharian ini tak ia buka. Ze mencari nama seseorang di sana, mengabaikan banyak notif yang membuat ponselnya sangat berisik.

"Lo dimana?" Tanya Ze setelah seseorang di sebrang sana menerima panggilan darinya.

"Gue di rumah Acha, Ze As_."

"Gue kesana sekarang."

Memakai helm, Ze langsung melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia menyalip kendaraan lain yang menurut Ze menghalangi jalannya. Tak jarang orang-orang di jalanan mengumpatinya karena berkendara dengan ugal-ugalan.

Entah kenapa tiba-tiba wajah seorang gadis terlintas dibenaknya. Annas Tasha, gadis yang sejak beberapa tahun ini mencuri perhatiannya. Wajahnya saat ketakutan, kerutan wajah gadis itu saat marah, senyuman lebar yang hanya ada saat bersama temannya, juga tatapan aneh yang selalu mengarah pada Ze. Mengingat itu semua, Ze tersenyum kecil.

Tin! Tin!

Ciittttt

Ze mengerem mendadak saat sosok perempuan menyebrang tidak melihat sekitar.

"Woy! Mau mati Lo?!"

Mengerutkan dahi, Ze mengeram kesal melihat gadis itu justru berjongkok. Melepas helm yang ia pakai, Ze berjalan kearah gadis itu lalu menariknya kuat hingga ia berdiri tegak dan menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya.

"An?"

Melihat kondisi An yang berantakan sudah cukup membuat Ze terkejut. Namun rasa terkejutnya harus bertambah saat tiba-tiba gadis itu menangis semakin histeris.

"Kenapa? Lo kenapa? Masih pake seragam?"

"Alin. Alin." Kata An disela tangisannya.

Alin? Apakah itu Asyalina? Pikir Ze.

OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang