54. Proof?

21 2 0
                                    

Kepalan tangan yang sebelumnya berada di atas paha An kini berpindah di kepala, guna meremas rambutnya. Menatap semua orang dengan sorot terluka membuat An mendapati tatapan kasihan dari rekan-rekannya yang masih berada di ruangan yang sama.

Sudah satu jam berlalu sejak mereka memeriksa isi dari seluruh file yang entah sejak kapan Asyalina susun.

"Gue anterin pulang."

Yura berujar karena hari sudah semakin sore, hanya dalam hitungan menit matahari pasti akan tenggelam. Untuk melihat isi dari seluruh video itu memang membutuhkan waktu berjam-jam. Namun, entah kenapa semua orang yang ada di sana tak berniat pergi terkecuali Satifa yang akan segera kembali ke Bandung.

Yura segera membawa An pergi tanpa menunggu jawaban, tanpa berpamitan. Karena saat ini semua orang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Gue bodoh banget ya, Yur?" An mendongak menatap Yura.

"Lo orang paling cerdas yang pernah gue temui, An."

"Gue jahat ya ternyata. Gue ga pernah perduli sama temen-temen gue." An kembali menunduk.

"Semua orang tau sebaik apa Lo, An."

An menggigit bibirnya yang mulai bergetar kuat-kuat. Ia menggeleng pelan masih dengan kepala tertunduk.

"Alin satu-satunya orang yang ngertiin gue sepenuhnya. Dia di peras, Yur. Alin, temen gue," An menahan nafas sesaat,

"di paksa buat khiantin gue. Tapi dia milih tetep jadi temen gue, walaupun itu ngebahayain dirinya sendiri."

"Gue selalu anggap Yumna manja, cengeng, suka bikin masalah dan ga bisa selesaikan sendiri, tapi gue ga pernah tau Yumna berusaha keras buat lindungi gue dari kalian semua."

"Kak Aiden sama Anna dari kecil sayang banget sama gue, Yur. Gue terbiasa sama mereka yang selalu jagain apapun yang gue sayang, tapi mereka nyakitin Alin. Gue ga tau ambisi mereka seserakah itu."

"Gue pantes ga sih di sebut temen terdekat Alin?"

"Kebaikan Lo dan kelembutan Alin ngebuat siapapun bisa lihat kehangatan diantara kalian berdua. Pertemanan setulus kalian ga pernah dan ga akan pernah gue temui sampai kapanpun, An."

╏⁠ ⁠"⁠ ⁠⊚⁠ ͟⁠ʖ⁠ ⁠⊚⁠ ⁠"⁠ ⁠╏


"Malem-malem tumben di rumah gue."

An tersenyum tipis, menatap sosok tampan di hadapannya. Tatapannya tak teralih sedikitpun dari sosok Aiden. Mulai dari cowok itu memasuki rumah, melepaskan jaket yang di kenakannya, lalu duduk di hadapan An sambil menaruh kunci motornya di atas meja.

An menatap wajah Aiden lamat-lamat. Wajah laki-laki yang sudah An kenal sejak ia mempunyai ingatan selain ayahnya. Bahkan An lebih dulu mengingat Aiden daripada Gamma. Apakah sosok dihadapannya ini benar Aiden temannya yang akan mencari boneka usang miliknya setiap kali ia kehilangan? Benarkah ia Aiden yang sama dengan sosok yang berada dalam video yang An lihat beberapa jam lalu?

"Kenapa liatin gue gitu?"

"Gue mau peluk, kak, boleh?"

Aiden mengerutkan dahi, namun tetap mendekat pada An. Memeluk gadis itu lembut, menepuk-nepuk pundaknya.

"Gue kemarin mimpi Alin, Kak." Kata An yang kini tengah didekap Aiden.

"Gimana mimpinya?"

"Kita main di rumah pohon, gue, Lo, Anna, ada Yumna juga."

An dapat merasakan tepukan di pundaknya menghilang.

"Kita lagi bercanda, tapi tiba-tiba Alin datang. Dia bilang gue lupa ada rapat OSIS, dan dia janji mau anterin gue. Jadi gue mau turun Kak. Tapi ga bisa, anak tangganya ga habis-habis. Gue cape, tapi ga sampe-sampe buat pergi sama Alin. Sampe gue sesak nafas pas kebangun karena kecapean turun tangga."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang