48. Huhhh

18 1 0
                                    

"Mbak, ayah mbak!"

An menatap Atha dengan dahi berkerut. Ia mendudukkan diri kembali padahal baru beberapa saat lalu ia berbaring setelah kepergian Anna dan Aiden yang katanya harus pergi rapat sore hari begini.

"Ayah? Di sini?"

"Iya, Ayah pulang."

Di bantu Satifa, An duduk bersandar. Lalu setelah beberapa detik muncullah seorang pria memasuki ruangan.

"Ayah? Kok udah di sini? Bukannya pekan depan baru balik dari Solo?"

Pria itu mengangguk, melangkah mendekati An.

"Mana yang sakit? Mereka ga ngapa-ngapain kamu kan?" Tanyanya tampak sangat khawatir.

"Udah ga sakit lagi ayah, cuma kaki An masih susah di gerakin. Gamma sama Atha jaga An di sini. Mas Gala juga sesekali datang buat nengokin."

Pria itu menghela nafas lega, lalu mengusap lembut kepala putrinya. Setelah beberapa saat barulah ia menyadari ada beberapa orang yang berada di ruangan ini.

"Kapan kembali kesini, Satifa?"

"Baru kemarin Om."

Ia mengangguk, lalu beralih menatap Gamma.

"Kamu bilang ada yang nolongin An, siapa? Kamu?" Tanya Ayah An melirik Vino.

Vino menggeleng canggung, "bukan om. Sepupu saya."

"Di mana dia?"

"Di kantin Yah, belum makan dari tadi siang, jadi bang Gamma nyuruh dia makan dulu." Atha yang menjawab.

Pria itu kembali mengangguk mendengar ucapan putra bungsunya. Lalu beralih menatap Vino yang tampak canggung.

"Kamu teman An?"

"Ah, iya om. Saya Vino, teman organisasi An." Kata Vino memperkenalkan diri, ia menyalimi Ayah An.

Bertepatan setelah keduanya menarik kembali tangan mereka. Pintu ruangan terbuka menampilkan Ze yang masuk dengan wajahnya yang selalu tak berekspresi itu.

"Itu dia, Om." Ujar Gamma memberi tahu.

Ze menatap bingung orang-orang di sana yang tengah menatapnya. Saat tatapannya bertemu dengan ayah An ia tersenyum kikuk. Melangkah pelan, Ze menghampiri pria itu berniat menyapa.

"Saya dengar kamu yang menyelamatkan anak saya malam itu. Terimakasih banyak." Pria itu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Ze yang langsung di sambut.

"Ga masalah Om, saya juga bersyukur bisa datang tepat waktu."

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajah kamu terlihat tidak asing." Ayah An menunjuk wajahnya sendiri dengan tangan kirinya yang masih terbebas.

Ze mengangguk, "iya Om, saya Ze. Zean Angkasa."

Senyum di wajah pria yang sudah memiliki sedikit kerutan itu pudar seketika. Menarik tangannya kasar, membuat semua orang tampak bingung, termasuk Ze yang kini menatap tangannya sendiri.

"Terimakasih untuk bantuanmu, saya dengar kamu juga membayar sebagian tagihan rumah sakit. Akan segera saya bayar. Sebaiknya kamu pergi dari sini."

"Om?" Gamma mendekati suami bibinya bingung.

"Jangan pernah datang kesini, jangan temui An lagi."

Rahang Ze mengeras mendengar penuturan itu, ia masih tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria yang sudah beberapa tahun terakhir tak ia temui.

"Kenapa Yah? Bang Ze jagain mbak An berhari-hari di sini."

Setelah mendengar ucapan Atha, kini Ze justru mendapatkan tatapan tajam dari pria di hadapannya.

OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang