38. Friend

17 1 0
                                    

"Nyari An?" Gamma bertanya sebab sejak tadi Vino dan Ze terus memperhatikan kesana-kemari tak fokus pada pembicaraan mereka sampai diskusi selesai.

"Dia kemana?" Ze bertanya dengan raut wajah datar, seolah ia tidak penasaran sama sekali.

"Kerja."

"Kerja? Malem?"

"Cuma ngajar les doang, itu juga ga setiap malam. Biasanya jam segini udah kelar kok, paling bentar lagi pulang."

"Terus dia pulang gimana? Lo kok ga jemput, bang?" Vino beranjak dari duduknya, "di mana An ngajar? Biar gue jemput."

"Ga perlu, An di anterin."

"Sama?"

"Benu."

Vino yang akan meraih kunci motor yang tergeletak diatas meja menghentikan pergerakannya. Ia menatap Gamma dengan alis bertaut bingung.

"Benu Pratama?"

Vino terdengar seperti sedang memastikan apakah orang yang di maksud adalah orang yang ia kenal. Lalu terkekeh geli mendapati anggukan dari Gamma.

Suara deru motor dari luar rumah membuat Vino melangkah keluar. Ia menyipitkan mata untuk memastikan. Benar saja, An pulang bersama sosok Benu yang ia kenal. Vino dapat melihat An dan Benu sedang berbicara, sebab An tak langsung masuk ke rumah. Tatapan Vino tak sengaja bertemu dengan Benu, tangannya mengepal kuat saat melihat Benu tersenyum remeh kearahnya.

Setelah hampir lima menit waktu berlalu, barulah An membalikkan badan. Tampak gadis itu terkejut melihat keberadaan Vino, namun dua detik setelahnya ia kembali menetralisir mimik wajahnya. Berjalan cepat, An melewati Vino yang memanggilnya pelan.

"Jangan deket-deket sama Benu, Rafa ataupun Aiden."

Barulah An menghentikan langkah setelah mengabaikan panggilan Vino yang terus berulang.

"Mereka manfaatin lo."

Terdengar An tertawa mengejek sebelum gadis itu membalikkan badan menatap Vino.

"Lo juga manfaatin gue, sama aja kan?"

"Itu beda, An."

"Bedanya apa?"

Vino diam beberapa saat, menatap An yang menunggu jawaban darinya.

"Ya beda."

"Lo bahkan ga bisa kasih tau gue bedanya apa. Udahlah, Vin. Ga usah pura-pura baik lagi. Gue udah bilang ga akan ngundurin diri sebelum gue nemuin kebenaran tentang kematian dua temen gue."

"An, jangan cari tau soal itu."

"Kenapa? Lo terlibat? Lo juga yang rencanain? Belum cukup manfaatin gue? Mau Lo apa sih?" An bertanya dengan nada rendah, tak ingin Atha mendengar suaranya.

"Itu bakal nyakitin lo, An."

Suara Vino kini terdengar lirih, namun An hanya menanggapi dengan senyuman tipis.

"Lo udah bikin gue sakit, Vin."

Vino menghela nafas, ia mengangguk kecil dua kali.

"Bahkan setelah lo tau kebenarannya, jangan ngundurin diri."

"Kenapa? Lo butuh orang buat nutupin kebusukan dari semua rencana lo? Seharusnya Lo tutup rapat-rapat kebenaran itu dari gue."

"An, jangan kaya gini. Tolong."

"Kaya gini gimana? Lo tau ga? Gue selalu bangga terpilih jadi OSIS karena gue ngerasa itu organisasi terhormat dengan banyak seleksi yang sangat ketat. Tapi apa? Ternyata itu cuma organisasi sampah yang isinya anak-anak donatur kaya biar bisa masuk universitas bagus dengan bantuan kepala sekolah. Gue malu jadi salah satu dari kalian."

OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang