50. Back To Home

10 1 0
                                    


"Gue berangkat sekolah sama Atha, Lo pastiin si brengsek itu ga datang kesini." Ujar Gamma pada Satifa yang langsung diangguki.

"Jangan sampai mereka ketemu."

"Iya."

"Tolong beresin semua barang An, sore ini dia udah di bolehin pulang."

"Tapi luka-luka An masih belum pulih kak."

"Dia rawat jalan, kalau di rumah gue bisa awasin An buat ga ketemu si bajing*n itu. Tolong bantu sepulang sekolah barang-barang udah beres. Sorry jadi ngerepotin Lo."

Lagi-lagi Satifa mengangguk membalas ucapan Gamma. Setelah kedua cowok berbeda usia itu pergi, Satifa kembali masuk ke dalam ruangan An.

Ia menghela nafas menatap An yang masih terlelap. Satifa memilih menyusun barang-barang An untuk pulang nanti. An baru saja tidur menjelang pagi, itu karena ia terus menangis sepanjang malam.

Entah apa yang di tangisi gadis itu, Satifa juga tak mengerti. Ia hanya diam menatap dari luar An dan Gamma yang terus berdebat setelah mereka kembali dari parkiran tadi malam. Ia tersenyum miris menatap An yang matanya tampak bengkak.

"Pantes aja dia ga biarin lo tau semuanya, An. Dia tau Lo bakal sehancur apa nantinya."

Setelah lebih dari satu jam Satifa sudah selesai dengan barang-barang yang cukup berantakan, kini ia duduk di samping An. Menatap wajahnya yang semakin hari semakin tirus, beberapa bulan lalu sebelum Satifa di paksa kembali ke Bandung, gadis itu tak sekurus ini.

Ceklek

Satifa menoleh mendengar suara pintu terbuka, tampak seorang dokter wanita masuk ke ruangan An dengan senyum ramah di wajahnya.

"Temannya Annas Tasha ya?"

"Ahh, iya Dok. Saya Satifa. Temen saya mau di periksa lagi, kah?"

"Oh bukan, saya hanya ingin melihat keadaannya saja."

Satifa mengangguk, ia merasa tak asing dengan wajah dokter yang saat ini sudah berdiri dihadapannya.

"Temannya almarhumah Asyalina juga dong berarti?"

Satifa kembali mengangguk untuk yang kali ketiga, meskipun ada sedikit perasaan sesak mendengar nama sahabatnya disebut dengan gelar seperti itu.

"Saya sahabat Dokter Anggika, ibunya Vino."

Satifa ber-oh panjang, mencoba menyembunyikan raut terkejutnya. Pantas saja ia merasa tak asing, wajah wanita ini bertebaran di dinding rumah Asyalina.

"Kamu juga teman Vino?"

Kali ini Satifa menggeleng, "Vino dan An berteman di organisasi, Dok."

"Loh? Bukannya kakek kamu_."

"Saya ga tertarik untuk bergabung organisasi seperti itu."

Wanita itu tersenyum, ia mengangguk mengerti. Tak ingin membahas lebih banyak lagi dengan anak gadis yang tampak tak selembut kedua temannya yang ia kenal.

"Saya cuma mau memastikan keadaan An baik-baik aja. Saya permisi dulu, Satifa."

Satifa mengangguk membiarkan wanita itu keluar sendiri sembari mengeluarkan ponselnya yang berdering.

"Iya Zean, Annas baik-baik saja. Tante baru keluar dari ruangannya."

Samar-samar Satifa mendengar suara wanita itu berjalan menjauhi ruangan dengan ponsel yang menempel di pipinya. Gadis itu menghela nafas, kembali menatap An yang tampak masih nyaman dengan tidurnya.

OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang