An berteriak frustasi sambil memegang ponselnya, mata bengkaknya tak berhenti mengeluarkan air mata. Sambil terisak, An terus mencoba untuk menghubungi Satifa yang sudah tidak bisa di hubungi sejak beberapa hari terakhir.
"Angkat Tif, angkat. Alin butuh kita. Gue butuh Lo, angkat."
An menghapus kasar air matanya, memukul dadanya yang terasa sakit berkali-kali.
"Satifa, gue mohon. Tolong angkat telepon gue."
Kali ini tangan An berpindah menjambak rambut hitam miliknya dengan kuat. Isakannya masih tak berhenti dengan tatapan menuju layar ponsel yang menunjukkan nama 'My Tif' di sana.
"Kenapa lo ga bisa di hubungi? Lo harus tau Alin ninggalin kita. Angkat telepon gue, angkat."
"Pembohong."
"Gue sakit sendirian."
Ia kira memukuli dadanya sendiri mampu menghilangkan rasa sesak di dada, namun sialnya itu semakin terasa sesak.
"Gue ga ada yang peluk."
"Kalian yang tinggalin gue!"
"Bohong. PEMBOHONG! KALIAN NINGGALIN GUE SENDIRIAN! KALIAN TAU GUE BENCI SENDIRIAN! KALIAN TINGGALIN GUE!"
"Malaikat maut itu mau bunuh gue juga."
"Lin dada gue sakit. Sakit banget, rasanya kaya ada yang pukul. Kuat banget."
An memejamkan mata, memeluk dirinya sendiri. Ia sadar tak akan ada Alin yang akan memeluknya kali ini. Ia menutup mulutnya, mencoba untuk meredakan isakannya meskipun itu sia-sia. An justru tampak semakin menyedihkan saat ini.
Ceklek
"Tante Nia nyuruh Lo naik ke kamar Alin, buat ganti baju sekalian istirahat."
An menoleh, menatap Rafa yang masih basah kuyup. Kesedihan terpancar jelas di matanya saat ini.
"Rumah gue hilang, gimana caranya gue mau istirahat? Gue istirahatnya dimana? Rumah gue udah ga ada." Kata An disela isakannya.
Rafa diam beberapa saat, menatap An lekat-lekat. Ia melangkah maju, lalu memeluk An dengan kepala bertumpu di bahu gadis itu.
"Dunia gue diambil, An. Dunia gue di ambil. Dunia gue."
"Semesta jahat Raf, kenapa semuanya diambil dari gue?"
"Sekarang gimana gue bisa hidup? Dunia gue hilang, An."
"Dokter bilang keadaan Alin udah stabil. Tapi kenapa? Kenapa dia milih buat ninggalin gue? Gue sayang banget sama dia, An."
An semakin terisak mendengar ucapan Rafa yang tengah terisak.
"Tapi dia ninggalin gue, Alin dunia gue, An. Alin tahu itu."
Isakan pilu kedua remaja itu kini bercampur membuat siapapun yang mendengar akan merasa prihatin. Dua orang yang sama-sama kehilangan itu kini saling menumpahkan kesedihan mereka dengan sebuah pelukan menyedihkan.
"Gue tau Alin ga akan mungkin ninggalin orang-orang yang sayang sama dia gitu aja, Raf."
Terlepas pelukan mereka saat seseorang menarik An begitu saja.
"Lo perlu istirahat."
"Minggir!" Sentak An membuat Ze refleks melepaskan tangannya.
"Karena Lo." An mengangkat telunjuknya tepat dihadapan Ze "Alin kaya gini karena Lo. Karena Lo tau kalau Alin yang sebar video Lo dipukuli ayah Lo, Lo ngejebak Alin sama kaya Lo jebak gue, kan? Lo brengsek, Ze."
KAMU SEDANG MEMBACA
OSIS
Teen Fiction"Semua orang di sini tahu, tidak mudah untuk bergabung OSIS di sekolah ini. Bahkan setelah kalian berhasil lolos kalian tetap akan menjalani ujian setiap bulannya." ••• "Curang! Mereka orang yang curang!" "Pembunuh! Kalian pembunuh!" "Orang-orang so...