🍂 Part 30 🍂

419 39 0
                                    

🍂🍂🍂 

Ezlyn dan para zombie pasif berada di lorong menuju ke lantai dua untuk menghindari air yang semakin meninggi. 

Kevin menggenggam erat tangan Ezlyn yang menuntunnya. 

Langkah mereka terhenti ketika berpapasan dengan dua zombie dewasa yang bisa melihat. 

"Gawat," gumam Ezlyn. 

Kedua zombie itu berlari ke arah mereka. Ezlyn dan para zombie pasif pun berhamburan untuk menghindari kedua zombie itu. 

Pegangan tangan Ezlyn dan Kevin tak sengaja terlepas. Si zombie semakin dekat. 

Kevin tersandung dan jatuh di atas genangan air. Ezlyn menghentikan langkahnya. Ia panik melihat kedua zombie itu berlari ke arah Kevin. 

Ezlyn pun kembali untuk menolong Kevin. Ia bersiap dengan pistolnya. Namun, kedua zombie itu melewati Kevin dan menandai Ezlyn sebagai targetnya. 

Tanpa pikir panjang, Ezlyn menembak kedua zombie itu dengan tangan gemetar. Ia berhasil. Kedua zombie itu pun mati. 

Ezlyn segera menghampiri Kevin dan membantunya berdiri. "Kau baik-baik saja? Kau terluka?" tanyanya. 

Kevin menggeleng. 

"Ezlyn, sepertinya para zombie itu tidak akan menyerang kami. Mereka hanya menyerang manusia yang tidak terinfeksi," ucap salah satu dari para zombie pasif itu. 

Ezlyn mencerna kalimat tersebut. 

"Bukankah itu bagus? Kita tidak perlu takut pada para zombie itu," sahut yang lainnya. 

"Kau benar." Para zombie pasif itu tampak senang. 

Ezlyn masih terlihat ragu. "Bagaimana jika dugaan kalian salah? Kita tetap harus berhati-hati," ucapnya. 

Sementara itu, Alma dan warga yang selamat segera pergi ke lantai dua untuk menghindari genangan air yang mana terdapat cairan hitam. Cairan hitam itu bergerak-gerak di pekaan air dan menuju ke arah manusia berada. Itulah sebabnya mereka mencari tempat yang aman dan kering untuk menghindari cairan hitam tersebut. 

Di lorong lain di lantai dua, Eric berjalan gegas sembari menyorotkan senternya ke segala arah. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sekelebat bayangan di belakangnya. 

Eric tak mempedulikannya. Ia melanjutkan langkah menuju ke lantai satu. Tanpa disadari olehnya, sosok menakutkan tengah mengawasinya dari belakang. 

Lagi-lagi Eric menghentikan langkahnya ketika melihat genangan air di depan sana yang berasal dari atap yang bocor. Anehnya, sekarang sedang musim kemarau, tetapi atap bocor. Kemarin-kemarin tak ada atap yang rusak. 

Dari genangan air itu, Eric bisa melihat pantulan zombie yang berdiri tepat di belakangnya. 

Si zombie membuka mulut dan siap menggigit Eric. Namun dengan cepat, Eric berbalik dan menusuk leher si zombie dengan pisau yang dibawanya.  

Si zombie meludahkan cairan ke wajah Eric. Karenanya, Eric terpundur dan segera mengelap wajahnya dengan tangan. Si zombie kembali menyerangnya dan bersiap akan menggigit. 

Namun, peluru melesat dan menembus tengkorak si zombie yang membuatnya tewas seketika. 

Eric menoleh ke sumber tembakan, ternyata seorang pemuda yang telah menembak si zombie. 

"Kau baik-baik saja?" Pemuda itu menghampiri Eric dan membantunya berdiri. 

Eric mengangguk.

Di lantai satu, Ezlyn dan para zombie pasif sedang menuju ke ruang utama untuk menolong yang lainnya. 

Orang-orang di ruang utama mati-matian melawan para zombie yang semakin banyak berdatangan dari luar. Beberapa dari mereka telah terinfeksi karena cairan hitam yang masuk ke dalam tubuh mereka lewat lubang-lubang pada tubuh. 

Ezlyn dan yang lainnya telah tiba di ruang utama. 

Karena para zombie tak menyerang zombie pasif, maka para zombie pasif memiliki peluang besar menumbangkan mereka. Tongkat besi, linggis, tongkat bisbol, palu, kapak, dan lainnya digunakan sebagai senjata. 

Ezlyn dan Alma membawa orang-orang yang terluka atau pingsan (tapi tidak terinfeksi) ke ruangan yang aman. 

"Di mana anak-anak?" tanya Ezlyn. 

Alma menjawab, "Mereka mungkin telah bersembunyi di tempat yang aman. Dua hari yang lalu, Edgar dan Devon memberikan arahan pada anak-anak untuk segera pergi ke ruangan aman jika ada sesuatu yang terjadi. 

Jika anak-anak berada di tengah-tengah bencana seperti ini, maka semuanya akan semakin sulit. Terlebih lagi, mereka generasi muda untuk Distrik 05 yang hancur ini.".

Ezlyn menghela napas lega. 

Dengan kebrutalan para zombie pasif, akhirnya zombie-zombie itu dapat dimusnahkan. Mereka segera menutup pintu dan jendela yang sudah jebol itu menggunakan rak dagang yang besar. 

Ezlyn membantu Alma mengobati warga yang terluka. Beberapa dari mereka menangis dan menyesali keadaan karena anggota keluarga mereka dan juga teman mereka telah terinfeksi sehingga berubah menjadi zombie. 

Sementara itu, di ruang pendingin. 

Pintu ruang pendingin dibuka sedikit dari dalam. Tony mengintip untuk melihat situasi. 

"Sepertinya sudah aman. Kita bisa keluar sekarang," ucapnya pada Jessica dan Raphael. 

Anak-anak lainnya yang berada di dalam ruangan pendingin hanya diam dan memperhatikan. 

"Ayah yakin?" tanya Raphael yang masih terlihat khawatir. 

"Ya, aku tidak mendengar suara keributan lagi di luar," jawab Tony. "Tidak ada gunanya bersembunyi di tempat bodoh ini. Yang ada, kita kedinginan dan akan mati membeku."  Ia mengeratkan jaketnya. 

Akhirnya, mereka bertiga pun ke luar dari ruang pendingin. 

"Apakah kita juga boleh keluar?" tanya Abby setelah Tony, Jessica, dan Raphael berlalu pergi. 

Alden menjawab, "Ini adalah tempat teraman. Hanya karena tak ada suara zombie di luar sana, bukan berarti mereka juga tak ada."

Tony, Jessica, dan Raphael berjalan gegas di lorong. Senter dari ponsel Tony menerangi jalan mereka. 

"Ayah, ini menakutkan," rengek Raphael. 

"Semuanya akan baik-baik saja. Jangan bersuara," bisik Tony. 

Langkah mereka terhenti saat zombie bocah mengagetkan mereka hingga ponsel yang dipegang Tony jatuh ke lantai. 

Si bocah zombie menyerang, tetapi Tony menendangnya dengan mudah. Mereka bertiga pun lari menghindari bocah zombie itu. 

"Gunakan ponselku." Jessica memberikan ponselnya. 

"Ayah," suara Sherin membuat Tony berhenti melangkah. Jessica dan Raphael juga berhenti. Mereka berbalik dan melihat Sherin berdiri di sana dalam kegelapan. 

"Kenapa Ayah meninggalkanku?" tanya Sherin. 

"Itu...." Tony kebingungan harus menjawab apa. "Ayah sedang mencarimu saat ini. Syukurlah kau baik-baik saja."

"Ayah bohong," potong Sherin. 

"Tapi, bagaimana bisa kau ke luar dari ruang isolasimu? Meski hanya dikunci selot, kuncinya di bagian luar pintu dan susah dijangkau dari dalam," kata Jessica sembari menyalakan senter dan ponselnya, lalu menyorot wajah Sherin yang menunduk dengan rambut basah yang menutupi wajahnya. 

"Aku tak pernah menyukaimu, aku tak pernah menyukai kalian." Sherin mendongak menatap mereka bertiga dengan kedua bola mata yang menghitam. Tak hanya itu. Terdapat lubang-lubang kecil di kedua pipi Sherin. 

Cairan hitam menetes dari sudut mulutnya yang perlahan terbuka. Terlihat bagian dalam mulutnya yang berwarna hitam. 

🍂🍂🍂 

Karya asli Ucu Irna Marhamah 

21.28 | 14 Februari 2019 

DISTRIK 05Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang