🍂 Part 34 🍂

392 42 0
                                    

🍂🍂🍂 

Tubuh Kevin mengambang di atas permukaan air kolam dalam posisi telungkup. 

Ezlyn telah tiba di sana. Tanpa pikir panjang, ia segera melompat ke air untuk menyelamatkan Kevin. Namun, Kevin terbangun dan tampaknya baik-baik saja. 

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau bertingkah seolah kau tenggelam dan mati terapung?" Ezlyn memarahi anak laki-laki itu. 

Eric berlari menuju ke halaman rumah tersebut. Langkahnya terhenti saat melihat Ezlyn dan Kevin terlihat baik-baik saja. Ia menghela napas lega. 

"Di luar terlalu panas. Aku ingin berendam," ujar Kevin. Ia pun berenang dengan lihainya. 

"Kak Ezlyn, aku bisa bernapas di dalam air," ucap Kevin sembari masuk ke dasar kolam. Terlihat gelembung yang bergemerubuk ke atas permukaan air. 

Ezlyn dan Eric melongo melihat itu. 

Kevin berenang menuju ke permukaan. "Keren, kan?!" Ia terlihat begitu senang. 

Ezlyn menangkup wajah Kevin. Ia melihat lubang-lubang kecil di kedua pipi bocah laki-laki itu. "Apakah kau terluka?" tanyanya. 

"Tidak." Kevin menggeleng. 

Ezlyn menyentuh lubang-lubang kecil tersebut yang mirip sekali dengan milik Sherin zombie. Tak salah lagi, lubang-lubang kecil itu adalah insang zombie air. 

Eric dan Ezlyn saling pandang. 

Jam menunjukkan pukul 7 malam. 

Semua orang berada di dalam ruang di gedung kantor polisi karena hari sudah gelap. 

Di ruangan lain, Edgar dan Devon mendengarkan laporan dari Ezlyn dan Eric tentang Kevin. 

Devon memijit pelipisnya. "Sudah aku bilang, lambat laun mereka akan berubah menjadi zombie. Hanya saja, prosesnya lebih lama dibandingkan dengan yang lain."

Edgar menghela napas panjang, tak tahu harus mengatakan apa. 

Di ruangan komunikasi, Alma sedang mencoba menelepon 911 berkali-kali walau tak diangkat. "Apa mungkin semua orang di 911 sudah berubah menjadi zombie juga?" gumamnya. 

Sementara itu di lorong lain, anak-anak tampak bermain bersama, begitu pula dengan anak-anak yang terinfeksi. Mereka tak menyadari adanya bahaya yang mengintai di mana seekor ular masuk lewat lubang closet dan bergerak menuju ke lorong. 

Ular itu adalah ular zombie yang berukuran cukup besar. Pergerakannya sangat cepat menuju ke sumber suara di mana anak-anak berada. 

Saat si zombie ular tiba di depan pintu ruangan yang terbuka lebar, anak-anak berteriak ketakutan. Mereka berhamburan untuk menyelamatkan diri. Si zombie ular terus bergerak cepat mengejar para bocah itu. 

Mendengar suara teriakan anak-anak di lantai bawah, si pemuda yang diketahui bernama Max itu segera turun ke lantai satu untuk memeriksa. 

Anak-anak berlari masuk ke dalam ruangan terdekat. Alden jatuh tersandung kakinya sendiri. Raphael yang paling terakhir masuk ke dalam ruangan dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Ia melihat Alden yang jatuh di jarak yang cukup jauh. Si ular zombie semakin dekat. 

Raphael bimbang. Alden mengulurkan tangan berharap Raphael tak menutup pintunya, tetapi Raphael memilih untuk menutup pintu. 

Si ular zombie semakin dekat dan menggigit betis Alden. Anak laki-laki itu berteriak kesakitan. 

Peluru melesat dan menembus kepala si ular zombie hingga tewas seketika. Max telah datang. Ia mengangkat tubuh Alden dan membawanya pada Alma yang berada di ruang komunikasi. 

"Alma, berikan dia penanganan! Cepat!" suruh Max. 

Alma yang sedang memegang gagang telepon pun segera menghampiri Max yang menidurkan Alden di atas meja. Ia mengeluarkan kotak P3K dan koper berisi perlengkapan yang selalu dibawanya ke mana pun. 

"Apa yang terjadi?" tanya Alma. 

"Alden digigit ular... ular zombie," jawab Max khawatir. 

Alma menoleh sebentar pada Max, kemudian memberikan penanganan pada Alden untuk mengeluarkan bisa ular agar tak cepat menyebar. 

Max berinisiatif membawa berangus __ khusus yang biasa di gunakan tahanan berbahaya, misalnya psikopat__ yang ada di lemari, kemudian dipakaikan pada Alden. Sekadar berjaga-jaga jika tiba-tiba Alden berubah menjadi zombie dan menyerang mereka. 

"Kau sudah memberitahu Edgar?" tanya Alma tanpa menghentikan aktivitas, bahkan ia tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari tanggung jawabnya. 

"Aku akan memberitahunya." Max mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Edgar. 

Tak lama kemudian, Edgar dan Devon memasuki ruangan. Mereka tampak khawatir. 

"Dari mana ular itu berasal?" tanya Devon. 

"Entahlah. Padahal tak ada lubang atau semacamnya," sahut Max. 

Edgar terlihat khawatir. Ia menggenggam tangan adiknya dengan erat. Alden tak berhenti menangis karena panik dan kesakitan. 

Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya Alma selesai menangani Alden. Ia menyeka keringat yang membasahi dahinya sembari menghela napas lega. 

Tampaknya Alden juga sudah mulai tenang meski masih terlihat syok. 

"Bagaimana?" Edgar bertanya pada Alma. 

"Bisa ularnya sudah teratasi," jawab Alma. 

Edgar menarik tangan Alma agar ke luar bersamanya dari ruangan komunikasi. "Bagaimana dengan virus zombie-nya? Apakah adikku akan berubah menjadi zombie?" tanyanya dengan ekspresi khawatir. 

Alma tak langsung menjawab, tetapi sesaat kemudian ia bersuara, "Mengenai itu, aku tidak tahu. Tapi, sepertinya Alden akan baik-baik saja. Dia tidak menunjukkan gejala terinfeksi. Biasanya, orang yang terkena gigitan akan berubah menjadi zombie dalam beberapa menit saja."

Jawaban Alma tak membuat Edgar tenang. Pria itu menutup mata sembari menengadahkan kepala ke atas. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. 

"Berdoalah semoga Alden baik-baik saja," ucap Alma. 

Edgar kembali menatap pada Alma, kemudian mengangguk. 

Sementara itu, Amber, Abby, dan anak-anak lainnya sedang menyalahkan Raphael atas apa yang terjadi pada Alden. 

"Yang kau lakukan tadi itu benar-benar keterlaluan. Apakah kau sadar bahwa kau jahat?!" gerutu Abby. 

"Sikapmu benar-benar tidak bisa dimaafkan," ujar Amber. 

Anak-anak lain juga menyalahkan Raphael, sama sekali tak ada yang membelanya, bahkan teman-temannya sekali pun. Untuk pertama kalinya, Raphael diam tak berkutik saat dirinya disalahkan. Biasanya ia tidak suka disalahkan dan selalu merasa benar. 

"Waktu itu, Alden membukakan pintu untukmu. Tapi sekarang, kau tidak mau membukakan pintu untuk Alden. Kau benar-benar orang jahat. Aku tak mau lagi berteman denganmu. Jika aku dalam bahaya, sepertinya kau juga akan melakukan hal yang sama padaku." Anak-anak itu pun berlalu pergi meninggalkan Raphael. 

Sekarang Raphael tahu bagaimana rasanya dikucilkan dan di-bully. 

Ezlyn dan Eric bergegas memasuki ruang komunikasi untuk melihat kondisi Alden. 

"Bagaimana kondisinya?" Ezlyn bertanya pada Alma yang sibuk memasang alat infus. 

"Dia baik-baik saja," jawab Alma. 

Alden terbaring lemah dengan wajah pucat. Anak laki-laki itu menatap pada Ezlyn dan Eric. 

Ezlyn menggenggam tangan Alden. "Semuanya akan baik-baik saja," ucapnya menghibur Alden. 

Alden mengangguk lemah. 

🍂🍂🍂 

Karya asli Ucu Irna Marhamah 

21.28 | 14 Februari 2019 

DISTRIK 05Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang