🍂 Part 12 🍂

278 28 10
                                    

🍂🍂🍂

Sebagian besar zombie di Kompleks D telah dimusnahkan oleh Edgar dan kawan-kawan. Kini mereka masuk ke dalam mobil. 

Danny melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu untuk kembali lagi ke super market dengan membawa Tony dan Raphael. 

"Tidak hanya memiliki pendengaran yang tajam, sepertinya sekarang mereka bisa mendeteksi keberadaan manusia melalui indera penciuman," ucap Sean. 

Sesampainya di super market. 

Terlihat beberapa zombie di luar yang berkeliaran. Devon menembaki mereka semua hingga tak tersisa. Mereka pun masuk ke dalam. Semuanya terlihat baik-baik saja. 

Tony merasa lega bisa bertemu lagi dengan putrinya. "Sherin." Ia memeluk gadis remaja itu. 

Sherin diam tak membalas pelukan ayahnya. Ekspresinya juga terlihat biasa saja. 

Jam 10 malam. Beberapa orang sudah tertidur di lantai dengan alas seadanya. Sisanya masih terjaga. 

Salah satu orang yang masih terjaga adalah Edgar. Pria itu masih mencoba menghubungi seluruh kontak di ponselnya, terutama kenalannya yang berada di luar Distrik 05. Namun, pesannya tak bisa terkirim. Internet bisa dibuka, tidak bisa digunakan untuk mencari informasi apa pun. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengetahui keadaan di luar sana. 

Alma menghampirinya dan memberikan satu cup mie instan yang sudah siap dimakan. "Kau belum sempat makan dan langsung pergi begitu saja untuk membantu teman-temanmu menyelamatkan Tuan Tony dan Raphael," ucapnya. 

Edgar menerimanya. "Terima kasih, Alma," ucapnya. 

Tiga hari kemudian. 

Semua orang di dalam super market melakukan hal yang sama setiap harinya, makan, tidur, makan, tidur. Mungkin terdengar menyenangkan, tetapi situasi yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Mereka selalu bersiaga dan kadang terjaga di malam hari karena takut seandainya zombie masuk dan memangsa mereka. Terlebih lagi saat ada suara merayap dan menggedor-gedor dari luar ruangan. 

Danny menyalakan TV. Tak ada yang berubah, tetap saja yang terlihat di layar hanyalah garis hitam-putih. 

Devon menghampiri Danny. "Bagaimana jika kita pergi distrik lain untuk melihat keadaan dan mencari bantuan," usulnya. 

"Aku rasa, itu ide bagus. Kita tidak bisa berdiam diri seperti ini. Kalau begitu, ayo ajak yang lain," ucap Danny. 

Sementara itu, anak-anak sedang bermain di lorong lain super market. Salah satu di antara mereka adalah Alden, Abby, Amber, dan Raphael. Lorong camilan memang menjadi tempat favorit bagi anak-anak. 

Raphael sedang bersama teman-temannya yang kebetulan sudah lebih dulu berada di super market. Melihat Alden sedang bermain dengan Amber dan Abby, Raphael memikirkan rencana untuk mengganggunya lagi. 

"Hei, Alden," panggil Raphael. 

Alden, Amber, dan Abby menoleh pada Raphael dan teman-temannya yang berjalan menghampiri mereka. 

"Dasar anak cengeng. Kau sukanya bermain dengan perempuan," ledek Raphael. 

"Jangan-jangan, sebenarnya Alden adalah anak perempuan," ejek temannya Raphael. 

Teman Raphael yang lainnya tertawa terbahak-bahak. 

Anak-anak lain yang bermain di lorong tidak ingin terlibat. Mereka hanya diam dan menonton. 

"Dia anak laki-laki," gerutu Abby yang membela Alden. 

"Benarkah? Kalau begitu, buktikan. Kalau kau jantan, cobalah ke luar lewat pintu belakang dan hadapi satu zombie," tantang Raphael. 

"Apa maksudmu?! Itu berbahaya. Memangnya kau sendiri berani pergi ke luar?!" sahut Amber. 

Raphael menautkan alis. "Aku berani melawan para zombie. Saat Paman Devon membantu kami dalam kepungan zombie, aku mengalahkan salah satu dari mereka," ucapnya yang tentu saja sebuah kebohongan. 

Abby bersuara, "Alden menolongku dari zombie besar. Dia juga melawan dan menghabisi mereka. Aku tidak yakin kau bisa melakukan itu."

Raphael mengepalkan tangannya geram. "Kau hanya mengarang. Alden pasti anak perempuan." Ia menarik lengan Alden. 

Alden melawan, tapi teman-teman Raphael menahan pergerakannya. Kedua tangan dan kaki Alden dicengkeram. 

"Apa yang kau lakukan?!" gerutu Abby yang berniat menolong Alden, tapi teman-teman Raphael mendorongnya. 

"Mari kita lihat, apakah kau laki-laki atau perempuan," kata Raphael berniat membuka celana Alden. 

Namun, sebuah sebuah tangan menjewer telinga Raphael membuat anak laki-laki itu menghentikan aksinya. 

Alden berhasil melepaskan diri dari Raphael dan teman-temannya. 

"Lepaskan telingaku!" Raphael menepis tangan yang menjewer telinganya. Ia mendongak menatap pemilik tangan tersebut yang ternyata adalah Ezlyn. 

"Apa-apaan kalian? Ingin sok keren dengan menjadi pengganggu dan pembuat masalah?" Ezlyn menyingkirkan tangannya dari telinga Raphael. 

"Kau siapa?!" gerutu Raphael. 

"Di situasi seperti ini, di usiamu sekarang, seharusnya kau lebih mengerti dan berdamai dengan keadaan. Jangan membuat masalah," ucap Ezlyn penuh penekanan. 

"Hei, apa yang terjadi di sini?" Tony menghampiri mereka. "Kenapa kau mengganggu putraku?" Ia bertanya pada Ezlyn. 

Raphael berlari dan memeluk ayahnya. "Ayah, dia menggangguku," rengeknya. 

"Anakmu yang mengganggu anak lain, Tuan," kata Ezlyn. 

Ucapan Ezlyn dibenarkan oleh anak-anak lainnya, mereka menyalahkan Raphael. Namun, Tony tidak peduli dan tetap menganggap Ezlyn yang mengganggu putranya. 

"Kau hanya orang asing. Apakah kau yang membawa virus zombie ini ke Distrik 05?" tanya Tony sembari mendorong lengan Ezlyn hingga terpundur. 

"Aku tidak terinfeksi," sanggah Ezlyn. 

"Terserah! Pada intinya, kau adalah orang asing," tukas Tony. 

Hantaman keras mengenai bagian belakang kepala Tony. Rupanya Harsa yang memukulnya menggunakan penggilas adonan. Wanita paruh baya itu mengetuk-ngetuk telapak tangan dengan penggilas adonan. Aura kegelapan mengelilinginya. 

"Siapa pun yang membuat onar, akan mendapatkan pukulan kasih sayang dariku," ancam Harsa. 

Semua anak di lorong berlarian ketakutan, termasuk Raphael. Hanya Alden, Amber, dan Abby yang tetap berada di sana. 

"Ibu terlalu berlebihan," celetuk Abby. 

Harsa melihat ke arah Ezlyn yang terdiam. Ia menepuk bahu gadis remaja itu dengan agak kasar. "Jangan dipikirkan. Pria ini memang selalu membuat onar, sama seperti putranya," ujar Harsa. 

Sebagai tetangga, tentu saja Harsa mengenal Tony dengan baik. 

Ezlyn hanya tersenyum menanggapi ucapan Harsa sembari memegangi bahunya yang sakit karena ditepuk oleh Harsa. 

Sementara itu, Edgar, Danny, Sean, dan Devon berniat pergi ke luar untuk mencari bantuan atau menolong orang lain yang mungkin saja masih berada di luaran sana. Mereka membawa perlengkapan. 

"Tunggu." Pak Polisi menghampiri mereka. "Kalian mau ke mana?" tanyanya. Dari name tag yang ia pakai, tertera nama James. 

"Kami ingin mencari bantuan ke distrik lain. Dan jika __dalam perjalanan__ ada orang yang masih bisa diselamatkan, kami akan menolongnya," sahut Danny. 

"Kalau begitu, aku akan ikut bersama kalian," ucap James. 

"Anda yakin, Pak Polisi? Aku rasa, orang-orang di sini lebih membutuhkan Anda untuk penjagaan," kata Devon. 

"Tidak, aku akan ikut bersama kalian. Lagi pula, mereka akan aman berada di sini," tutur James. 

"Baiklah."

Akhirnya, mereka berlima pun pergi bersama-sama. 

🍂🍂🍂

Karya asli Ucu Irna Marhamah 
21.28 | 14 Februari 2019

DISTRIK 05Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang