29

197 47 1
                                    

***

Ini akhir pekan, tepatnya hari Minggu. Toil masih tidur karena semalam berpesta dengan teman-temannya. Kali ini pria itu berpesta di bar, tidak ia bawa teman-temannya ke rumah, tidak ia buat kekacauan di sana. Pria itu hanya muntah di halaman, melepaskan kaus dan jaketnya di depan pintu utama, membuka jendela besar di belakang sofa utama lalu tidur di sofa, di ruang tamu.

Lisa bangun lebih awal hari ini, melangkah turun ke lantai satu untuk membuat sarapannya. Gadis itu kelaparan, setelah semalam melewatkan makan malamnya. Lisa terlalu asik dengan tontonnya, hingga ia melewatkan jam makannya. Kini tontonannya sudah selesai—32 episode, dalam dua malam dan satu hari. Sejak Jumat sore sampai Sabtu malam.

Bersamaan dengan turunnya Lisa dari lantai dua, Jiyong keluar dari kamarnya. Mereka sempat bertukar tatap, namun Lisa langsung berpaling, menatap heran pada Toil sembari menggelengkan kepalanya. "Berapa banyak dia minum semalam," gumam Lisa, yang sengaja menghampiri Toil. Ia tendang kaki pria itu, tidak seberapa keras, namun cukup untuk membuat Toil mengerang. "Tidurlah di kamar, kenapa kau tidur di sini," suruh Lisa, namun pria itu tidak mau mendengarkannya. Toil tidak bisa mendengarnya, karena terlalu mengantuk, terlalu mabuk juga.

"Augh! Mengganggu pemandangan saja," gerutu Lisa, yang akhirnya meninggalkan Toil di sana, membiarkan pria itu tidur di sofa.

Lisa melanjutkan langkahnya ke dapur, melewati Jiyong yang masih berdiri di lorong dekat kamarnya. "Kau bilang, kau akan memperlakukanku seperti memperlakukan teman suamimu," Jiyong berucap, menggantikan sapaan selamat pagi yang harusnya ia ucapkan. Rencana pria itu untuk mengambil sebotol air kini diurungkannya. Sebab tidak ia kira Lisa akan turun di Minggu pagi begini.

Lisa menoleh ke arah Jiyong sekarang. Ia ulas senyumnya, lantas menundukan kepalanya, menyapa Jiyong tanpa mengeluarkan suara apapun lalu kembali berbalik. Ia buka lemari es di depannya, mengeluarkan beberapa kotak lauk yang ada di sana. Kembali mengabaikan Jiyong sementara tangannya bergerak mencari sebuah piring. Akan ia ambil beberapa lauk yang ibunya Toil tinggalkan di sana, memanaskan nasi instan dalam microwave-nya, lalu kembali ke kamar.

Jiyong menghela nafasnya. Ia tarik dalam-dalam nafasnya, menghembuskannya dengan hati-hati kemudian berkata, "aku akan pergi ke Paris," ucapnya, menghentikan gerak tangan Lisa yang sekarang memegang sumpit untuk mengambil lauknya.

Tidak seorang pun bicara. Kesunyian menyerang. Jiyong menunggu reaksi Lisa, sedang gadis itu tengah memilih bagaimana ia harus merespon ucapan tadi. Tanpa mengatakan apapun, Lisa kembali sibuk dengan makanannya. Tiga kali ia mengambil daging bumbu dengan sumpitnya, meletakannya ke piring yang ia bawa.

"Melarikan diri lagi?" tanya Lisa, akhirnya bicara. Jiyong tidak merespon sekarang. Ingin ia katakan kalau dirinya tidak bermaksud begitu, tapi apapun jawabannya, semua akan terdengar seperti sebuah alasan. "Aku tidak bisa memahamimu," sambil meletakan semua yang ia pegang ke atas meja dapur, Lisa menoleh untuk melihat Jiyong. "Kenapa kau sangat menderita? Apa yang membuatmu terlihat sangat tersiksa begitu?" tanya Lisa, dengan raut tidak senang di wajahnya.

"Kau tidak akan mengerti-"

"Kalau begitu buat aku mengerti!" sela Lisa, tidak bisa menekan nada bicaranya. "Atau sekalian jangan menunjukan wajah itu padaku!" kesal gadis itu, mengeluh kalau Jiyong merusak nafsu makannya sekarang.

Dengan kasar, Lisa tinggalkan lauk-pauk yang sebelumnya akan ia makan. Ia lewati Jiyong, kembali melangkah ke kamarnya. Gadis itu menghentakan kakinya di tiap langkah, sudah ia injak setengah dari tangganya ke lantai dua ketika tubuhnya kemudian berbalik, kembali menghampiri Jiyong, memukul kepala pria itu.

"Bajingan!" umpatnya kesal. "Apa yang kau inginkan dariku, sialan?! Kau pergi tidak lama setelah orangtuaku meninggal. Kau pergi setelah tidur denganku. Kau pergi hanya dengan meninggalkan selembar surat—hiduplah dengan baik, jangan lupa makan, tidur yang nyenyak, berbahagia lah meski tanpaku. Hidup lah dengan baik jadi kau tidak akan menyesali apapun— aku ingat dengan jelas apa yang kau tulis waktu itu, bajingan! Lalu apa?! Kau kesal karena aku hidup dengan baik sekarang?! Kau yang membatalkan perjodohan kita, kau yang membatalkan semua rencana kita, dan sekarang kau kesal karena aku menikah dengan Toil?! Apa hakmu untuk merasa kesal?! Apa hakmu menunjukan wajah menyebalkan itu di depanku?!" Lisa berteriak, mendorong Jiyong di dadanya, bak seorang perisak yang tengah menyiksa targetnya.

"Maaf-"

"Augh! Sialan!" kesal Lisa, tangannya sudah terangkat untuk memukul Jiyong lagi, tapi ia tahan gerakannya. Ia tahan dirinya agar tidak memukul Jiyong sekarang.

"Kalau kau tidak bisa ikut senang atas hidupku sekarang, pergi saja dari sini. Kenapa kau terus menatapku dengan wajah menyebalkan itu?! Kau mengasihaniku karena suamiku punya teman kencan?! Kau mengasihiku karena aku menikah hanya untuk mempertahankan warisanku?! Di matamu aku hanya gadis lemah yang takut kehilangan semua warisanku, iya kan? Bagimu aku hanya gadis manja yang takut hidup miskin, kan? Benar sekali! Kau benar! Aku gadis seperti itu! Aku takut hidup miskin, aku takut kehilangan semua hartaku, karena itu aku menikah dengannya! Lalu apa?! Kau tidak menyukainya?! Kau kecewa karena mantan kekasihmu hidup menyedihkan seperti ini?! Kalau begitu, pergi saja! Pergi ke Paris atau ujung dunia sekalipun, pergi saja! Aku tidak peduli! Sana pergi!" marah Lisa, mengusir Jiyong dari rumahnya, kemudian naik ke kamarnya. Kali ini gadis itu benar-benar masuk ke dalam kamarnya, membanting pintu kamarnya tanpa memberi Jiyong kesempatan untuk bicara, untuk beralasan.

Amarah Lisa membangunkan Toil. Pria itu terbangun sejak pertama kali suara Lisa meninggi. Kini, setelah mendengar pintu dibanting dengan sangat keras, pria itu bangun, duduk di sofa dan menatap Jiyong dengan matanya yang sayu, berair karena mabuk bercampur kantuk.

"Kalian harus bertengkar sepagi ini?" heran Toil, dengan suara malasnya. "Kalau kau sudah lupa cara mengambil hatinya, kalau kau tidak tahu cara menghiburnya, setidaknya jangan membuatnya marah," susul pria itu, yang sekarang mau tidak mau harus naik ke lantai dua, menenangkan gadis yang pasti menangis di kamarnya.

"Sudah tidak ada tempat untukku di sini, iya kan?" pelan Jiyong, menghentikan langkah Toil yang akan ke kamar Lisa.

"Masih ada," jawab Toil, menahan denyut menyakitkan di kepalanya. "Lisa selalu menyediakan tempat untukmu. Hanya saja kau tidak akan pernah bisa ke tempat itu kalau masih menoleh ke belakang. Apa yang selama ini kau simpan, lepaskan itu," suruh Toil, lantas menawarkan sebuah kesempatan pada Jiyong, "kau mau naik dan memberitahunya rahasia itu sekarang?" tawarnya.

"Ini bukan waktu yang tepat," geleng Jiyong, menolak kesempatan itu.

"Kau pikir, akan ada waktu yang tepat untuk memberitahunya kenyataan mengerikan itu?" kata Toil, melontarkan sebuah pertanyaan yang tidak pernah bisa Jiyong jawab. Adakah waktu yang tepat untuk mengabarkan sebuah berita duka?

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang