***
Bel rumah besar itu berbunyi ketika Jiyong sibuk mencari berita, sedang Toil melihat-lihat video di internet, tengah memastikan tidak ada video perkelahiannya di sana. "Ambil makanannya di depan," suruh Toil, sembari menendang kaki Jiyong yang duduk di sebelahnya.
"Kau yang ambil," balas Jiyong, sama ketusnya.
"Lalu? Kau yang akan pergi ke kamarku dan memanggil istriku?" balas Toil, melirik Jiyong yang akhirnya bangkit, melangkah ke pintu depan.
Jiyong menuruti perintah Toil. Sedang Toil justru mendekatkan handphonenya ke telinga. "Turun lah, ayo makan malam," kata Toil, pada gadis yang ia telepon. Melihat bagaimana Toil memperlakukannya, mata Jiyong membulat sempurna. Rasa kesal memenuhi dirinya sekarang. Rasanya seperti sedang dipermainkan.
Jiyong meletakan seporsi daging asam manis di atas meja. Kemudian mencibir karena Toil hanya membeli seporsi makanan untuk mereka. Mengatai pria itu jadi miskin setelah debut sebagai produser. "Kalau aku yang jadi produser, aku pasti akan lebih kaya darimu," sebal Jiyong, setelah diperbudak.
"Apa itu?" tanya Toil, berkata seolah ia tidak memesan makanan itu.
Lisa kemudian turun, melangkah menuruni tangga lalu berdiri tepat di depan meja ruang tamu. "Itu makananku?" tanya Lisa, menunjuk bungkus makanan yang ada di atas meja.
"Kau memesan makanan juga? Aku memesan pizza,"
"Hm... Daging asam manis," angguk Lisa, mengambil makanannya, lalu melangkah ke dapur.
"Hanya itu? Satu porsi? Untuk dirimu sendiri?"
"Hm... Sejak kapan kita memesan makanan bersama? Aku akan makan di kamar," gadis itu sudah mengambil alat makannya sekarang. Akan pergi ke lantai dua, namun langkahnya berhenti karena tatapan Toil. "Apa lagi? Masalah apa lagi yang kau buat?" tanyanya, mengartikan tatapan pria itu.
"Kau tidak ingin makan bersama? Kau tidak penasaran kenapa kami berkelahi?" tanya Toil, bersamaan dengan bunyi bel pintu lainnya.
Jiyong sudah duduk ketika bel itu berbunyi, baru saja meraih handphonenya saat Toil melihat kearahnya. Menyuruh ia untuk kembali berdiri, mengambil makanan yang datang. Tapi Jiyong tidak langsung berdiri. Pria itu justru balas menatap, menolak untuk bangkit.
Mereka bertukar tatap, Toil terus menatapnya, lalu melirik Lisa yang ada di sana sedang bel pintu terus di tekan. Seolah tengah berkata "aku sedang bicara sekarang, buka pintunya," Toil terus menatap Jiyong. Membuat pria itu akhirnya bangkit dan kembali mengambil makanan yang datang di depan.
"Kenapa kalian berkelahi?" Lisa akhirnya bertanya, kali ini sembari meletakan makanannya di meja ruang tamu. Ia duduk di karpet, lalu membuka bungkus makanannya. Akan makan di sana sementara Toil membeli beberapa loyang pizza dan kudapan lainnya. Pria itu membeli banyak makanan karena ada Jiyong di sana.
Karena tidak langsung di jawab, suara getar handphone sekarang menginterupsinya. Handphone Lisa berdering dan tanpa pergi dari sana, Lisa menjawab teleponnya. "Ya, oppa? Bagaimana?" tanya Lisa pada pria yang meneleponnya.
"Tadi sore itu bukan kali pertama Jiyong dan Toil berkelahi? Mereka juga berkelahi sebelumnya? Kemarin lusa di supermarket?" Ahn Bohyun bertanya lewat telepon itu.
"Ah... Iya, aku lupa memberitahumu tentang yang satu itu, sorry," santainya.
"Kenapa mereka berkelahi? Augh! Kapan Toil akan dewasa?! Dia tidak ingat apa pekerjaannya?! Kau tahu kemarin dia membicarakan perkelahian itu di siaran langsung Instagramnya? Masalah ini sudah tidak bisa lagi ditutupi," kata Bohyun sedang Lisa menatap sebal pada dua pria di depannya.
"Kalau begitu, biarkan mereka berdua menerima akibatnya," kata Lisa, masih dengan tatap tajamnya. Melihat pada Toil dan Jiyong bergantian. "Tapi kasus kita sekarang, tidak akan kena imbasnya kan?" gadis itu kembali bicara.
Masih sembari menelepon, Lisa menghabiskan makanannya. Tanpa membagi daging asam manisnya, Lisa menyelesaikan makan malam. Piring daging asam manisnya kosong, bersamaan dengan selesainya telepon Pengacara Ahn.
"Whoa... Kau tidak bisa melihatku?" Toil berkomentar, tepat setelah Lisa meletakan sumpit juga handphonenya.
"Bisa," balas Lisa. "Mataku hanya minus, bukan buta," susulnya.
Toil menunjuk piring Lisa yang sudah bersih sekarang, dengan dagunya. Ingin mengatakan kalau mereka harusnya makan bersama. Mereka bertiga harusnya membagi semua makanan yang ada di sana, menikmatinya bertiga, seperti sepuluh tahun lalu.
"Ah? Kau mau? Harusnya kau langsung mengambilnya saja kalau mau. Sejak kapan kau menungguku menawarimu?" balas Lisa, menanggapi protes Toil. "Ya! Kau! Malam ini menginap lah di hotel lain. Reporter sedang mencarimu. Perkelahian kalian tidak bisa ditutupi karena seseorang membicarakannya di siaran langsung kemarin malam," susul Lisa, bicara pada Jiyong sembari melirik sebal pada Toil.
"Kalau begitu tinggal saja di sini," Toil berucap. Mengatakan kalau ada banyak kamar kosong di rumahnya. Jiyong bisa memilih satu kamar di lantai bawah. "Tidak perlu membayar uang sewa, cukup kerjakan pekerjaan rumah saja. Ah! Dan bawa mobil Lisa ke bengkel, kau tidak mengerjakannya saat pertama kali aku menyuruhmu, bajingan," susul pria itu. Sedang dua temannya yang lain kelihatan terkejut sekarang.
Jiyong terkejut karena Toil memintanya tinggal di sana. Hubungan mereka tidak sesederhana itu untuk tinggal bersama. Alasan yang sama pun berlaku untuk keterkejutan Lisa. Lalu, ditengah rasa kaget yang berubah canggung itu, Jiyong berkata kalau ia akan mencari hotel lain. Ia tidak mau tinggal di sana. Ia merasa tidak boleh tinggal di sana.
"Kenapa? Lisa tidak keberatan. Kau mau pindah hotel setiap hari? Reporter pasti bisa melacak dimana kau menginap," kata Toil, masih memaksa.
Lisa memilih untuk tidak berpendapat sekarang. "Aku tidak punya alasan untuk melarang, ini rumahnya," susul Lisa, membicarakan Toil. Gadis itu sekarang berdiri, pergi ke lemari es untuk mengambil air mineral di sana. Menenggaknya untuk mengurangi rasa canggung. Lantas berkata kalau ia harus tidur lebih awal malam ini, beralasan kalau besok ia harus bekerja. Pergi ke kamar sebelum seorang dari mereka menghentikannya lagi.
Toil menyadari rasa canggung itu, namun ia memilih untuk mengabaikannya. Sembari sesekali melirik Jiyong, pria itu menghabiskan sepotong pizzanya. "Lisa bahkan tidak keberatan aku mengajak perempuan ke sini, tinggal saja di sini sampai-" Toil tidak bisa melanjutkan kalimatnya, sebab sekarang Jiyong menarik lagi kerah bajunya. Sama seperti awal perkelahian mereka di restoran tadi.
"Bajingan berengsek," umpat Jiyong, menahan dirinya agar tidak memukul Toil lagi. Ia bisa saja menghajar Toil sekali lagi, tapi Lisa ada di sana. Gadis itu akan sedih kalau melihat mereka berkelahi lagi— pikir Jiyong.
"Ya, bajingan berengsek ini berhasil menikahi cinta pertamamu, apa yang bisa kau lakukan? Apa maumu?" pancing Toil, seolah tengah menantang Jiyong untuk benar-benar memukulnya lagi. Sekali lagi membuat keributan, berkelahi seperti beberapa jam lalu.
***
Info nih gais... Aku kemarin ikut editor's clinic, ngajuin naskah introducing me. Pas ketemu editor, diminta revisi ganti nama, ngeringkas ceritanya biar cukup 250 halaman, siapa tau, cuma siapa tau lolos seleksi buat diterbitin, jadi sampe minggu depan kayanya ga bisa update dulu... Mau ngerjain revisinya... Mohon pengertiannya yaa, tunggu akuu🤣🤣🤣Oh sama kali aja ada yg mau ngasih aku saran nama buat tokoh2nya, yang 1 kata aja tapii, aku kesusahan bikin nama sama nginget2 namanya, hehe tengkyuu~

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...