***
"Akhirnya dia pergi," Toil menghela nafasnya setelah Lisa pergi. "Bibi, bisa panggilkan dokter? Kepalaku sakit sekali," susulnya, dengan beberapa erangan menyakitkan yang sedari tadi ia tahan.
Toil tidak ingin menunjukkan rasa sakitnya pada Lisa. Tidak ingin ia buat temannya itu jadi semakin khawatir. Sejak beberapa hari lalu, Lisa selalu ada di sebelahnya. Memegangi tangannya selagi bisa, berdoa agar Toil segera sadar, segera pulih. Tubuhnya gemetar, luar biasa ketakutan. Khawatir kalau ia akan kembali kehilangan, jika Toil pergi.
Sedang Toil kembali diperiksa, Lisa berdiri di dalam lift sembari menyandarkan tubuh lelahnya ke dinding. Jiyong ada di sebelahnya, memperhatikan gadis itu lewat pantulan bayangannya di pintu lift. "Aku kira kau tidak akan datang," kata Lisa sembari menahan lelah. "Kau mematikan teleponku begitu saja, lalu tidak lagi bisa aku hubungi," susulnya.
"Maaf, aku sangat terkejut sampai kehilangan handphoneku," kata Jiyong. "Aku melihat berita kecelakaannya, benar-benar mengerikan. Kau pasti takut," susulnya, kali ini sembari menepuk-nepuk bahu lawan bicaranya.
Lisa menganggukan kepalanya. Mengatakan kalau ia ada di lokasi kecelakaan itu beberapa hari lalu. Di depan matanya, Toil yang sedang berdiri memainkan bass-nya, tiba-tiba ambruk tertimpa lampu. Semua orang berteriak, sedang Lisa merasa nyawanya baru saja ditarik keluar dari dirinya. Ia tidak ingat bagaimana reaksinya waktu itu, tapi ia ingat saat dirinya menangis di dalam ambulans, ikut berlari mendorong ranjang beroda ke dalam UGD, membentak dokter-dokter di sana untuk segera mengobati Toil, menyelamatkannya, menghidupkan lagi pria itu.
Toil dioperasi, operasi darurat dan ia menungguinya di depan ruang operasi. Baru saat itu, orangtua Toil datang. Ayahnya kelihatan panik, ibunya sudah menangis dengan wajah luar biasa pucat. Ahn Bohyun juga ada di sana, menjadi satu-satunya orang yang tetap waras. Ketika orangtuanya meninggal, ayahnya Toil yang berusaha tetap waras. Lisa harusnya membalas kebaikan itu, namun ia tidak bisa melakukannya. Tubuhnya terus gemetar, air matanya tidak mau berhenti, dan hanya isakan yang keluar dari mulutnya.
Operasi daruratnya berjalan lancar, tapi Toil tidak membiarkan mereka untuk tetap tenang. Ia yang seharusnya sadar, menolak untuk bangun. Pemeriksaan dilakukan, tapi tidak ada yang bermasalah. Toil seharusnya sadar, tapi pria itu terus tidur. Sampai pukul delapan pagi tadi, pria itu membuka matanya. Membuat semua orang akhirnya bisa bernafas lega. Baru setelah Toil sadar, orangtuanya pergi meninggalkan rumah sakit, menyisakan Lisa seorang diri di sana, dan Jiyong pun datang, membawanya keluar.
Keduanya lantas duduk di lobby rumah sakit. Duduk dalam cafe kecil, di sudut lobby. Jiyong meminta Lisa untuk duduk, sedang pria itu akan memesan untuk mereka. Ia belikan Lisa sepotong kue yang manis, juga secangkir teh hangat, yang mungkin bisa menenangkannya. Lisa tidak banyak berkomentar, ia terima apa yang Jiyong belikan, namun meletakan kepalanya di atas meja, kelelahan.
"Maaf, karena aku tiba-tiba meneleponmu kemarin," kata Lisa, sesekali menarik ingusnya, sesekali juga menghapus air matanya yang keluar. "Aku tidak ingin mengganggumu, tapi karena punya nomor teleponmu-"
"Terima kasih, sudah meneleponku," potong Jiyong, yang sekarang mengulurkan sendok kecil ke tangan Lisa. Menyuruh Lisa untuk mengisi perutnya dengan sepotong kue yang manis. "Aku tidak akan tahu apa yang terjadi pada Toil kalau kau tidak meneleponku. Meski dia bajingan, kami pernah-"
"Aku benar-benar kesal setiap kali mendengarmu memanggilnya begitu," potong Lisa. "Toil memang bajingan, tapi kau tidak berhak menyebutnya begitu," Lisa ikut memotong ucapan Jiyong.
Keduanya terdiam sekarang. Jiyong terkejut mendengar ucapan Lisa, begitu juga Lisa yang terkejut mendengar ucapannya sendiri. Lisa tidak pernah bermaksud memarahi Jiyong, namun ucapannya justru terdengar seperti itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eurydice
FanfictionOrpheus memainkan musiknya di depan Eurydice, membalut sang dewi dalam alunan cinta yang manis. Eurydice mencintai Orpheus karenanya. Mereka jatuh cinta, tenggelam dalam musik paling lembut dan pelukan yang paling nyaman. Begitu bahagia hingga Dewi...