49

207 37 0
                                    

***

"Oppa, maaf sekali, hari ini Toil tidak bisa pergi ke kantor," Lisa berkata begitu di teleponnya, menghubungi Ahn Bohyun setelah ia mengantar seorang dokter ke pintu depan. "Hari ini dia sakit, baru saja diperiksa dokter," katanya kemudian. Memberitahu Bohyun kalau Toil pingsan di kamar mandi, setelah beberapa kali muntah. Tentu tanpa menyebutkan kalau pria itu muntah karena mabuk.

Lisa menelepon di ruang tamu, lalu setelahnya ia pergi ke dapur untuk memasak. Meski tidak seberapa pintar, Lisa bisa membuat beberapa sup, beberapa lauk juga memasak nasi. Ia siapkan sarapan yang terlambat, sedang dua orang pria di rumahnya, masih berbaring di atas ranjang, entah pingsan atau hanya tidur.

Baru di pukul dua siang, Jiyong membuka matanya. Perlahan pria itu menyesuaikan matanya dengan sinar dalam kamar tidurnya. Ia ingat dirinya masuk ke kamar untuk tidur, dengan kepala yang luar biasa nyeri setelah mabuk. Namun saat di dapatkan kembali kesadarannya, dahi pria itu berkerut. Ada Toil di sebelahnya, terlelap dengan tangan yg tertusuk jarum infus.

Seolah keberatan Toil di sana belum cukup mengejutkan, pria itu semakin keheranan, saat di sadarinya kalau tangannya juga dipasangi infus. Pria itu menatap sekeliling, ini kamar tamu yang biasa ia pakai, dengan pintu yang dibiarkan terbuka. Tidak ada suara apapun di sana, rumah itu, kamar itu terdengar sangat tenang, sangat sunyi hingga Jiyong bisa mendengar debar jantungnya sendiri.

Lama pria itu duduk dan mencoba mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi, namun tidak satupun ingatan datang. Kepalanya rusak. Otaknya bermasalah. Ada banyak jeda kosong dalam ingatannya semalam. Baru setelah ia yakin dirinya tidak bisa mengingat apapun, ia bangunkan Toil di sebelahnya.

Hasilnya? Sama seperti dirinya tadi, Toil yang membuka mata setelah dibangunkan pun sama kebingungannya. Pria itu tidak mengingat apapun, selain perginya mereka berdua ke bar, lalu mabuk dan segalanya berubah hitam.

Untungnya Lisa datang di tengah-tengah kebingungan itu. Gadis itu mengintip, setiap sepuluh menit. Ingin memastikan dua pria di kamar tamu masih hidup. "Apa yang terjadi?" tanya keduanya, hampir bersamaan.

"Kau muntah sampai dehidrasi lalu pingsan," Lisa bilang begitu sembari menunjuk Toil. "Kalau kau, komplikasi. Pendarahan sampai lemas, ditambah flu," susulnya, kali ini menunjuk Jiyong.

"Oh... Begitu?" pelan keduanya, masih berusaha mengingat-ingat apa saja yang sudah mereka perbuat semalam.

"Oh? Begitu? Oh? Ya! Bodoh! Apa kau lupa kalau kau baru saja koma?! Berapa banyak yang kau minum semalam?! Dan kau! Apa yang kau lakukan sampai tanganmu terluka lagi?! Sebenarnya apa yang ada di otak kalian itu?! Kalian masih punya otak?! Tolol!" sebal Lisa kemudian, mengomeli dua pasien yang sekarang ada di rumahnya.

Sebenarnya begitu bangun, Toil juga Jiyong langsung diberi makan. Lisa merawat mereka berdua, mengambilkan makanan, sampai minuman dan pencuci mulutnya. Mengupas buah untuk mereka, melayani dua pria itu dengan baik. Lisa juga memberi keduanya bonus—omelan sepanjang hari. Lisa beri mereka siraman motivasi dengan beberapa variasi makian, juga umpatan. Memastikan dua pria itu tidak akan minum alkohol sampai mabuk berat seperti semalam lagi.

Dua pria itu dirawat meski penyakit keduanya tidak lah berbahaya. Infus yang dokter berikan pun hanya berisi vitamin. Keduanya hanya perlu tidur, beristirahat sampai energi mereka terisi kembali. Tapi karena dua bocah manja itu, Lisa kelelahan dan tertidur di sofa malam ini. Ia kelelahan karena menyiapkan makanan, mengantar makanan itu ke kamar, memberi obat pada pria-pria itu, membantu keduanya dengan semua kebutuhan mereka. Jiyong bahkan tidak bisa membuka botol air mineralnya sendiri, Lisa benar-benar harus mengurus mereka seharian ini.

Pukul sembilan, gadis itu terlelap di sofa ruang tamu. Setelah dua puluh menit lalu ia mengecek keadaan dua pasien di rumahnya, memastikan demam Jiyong sudah turun dan Toil tidak lagi pucat. Jiyong terbangun ketika gadis itu terlelap, melangkah keluar dari kamar, setelah berhati-hati bangkit dari ranjang—agar tidak membangunkan Toil. Infus di tangannya sudah lama dilepaskan, sejak vitaminnya tadi habis.

Jiyong lihat Lisa berbaring, melipat tangannya di depan dada dengan handphone di sebelah wajahnya. Merasa kalau ia harus bangun jika ada panggilan darurat, merasa ia harus tidur bersama handphonenya. "Augh!" Jiyong berseru, tidak sengaja karena kakinya menabrak meja di tengah-tengah ruang tamu yang redup itu. Lampunya sengaja Lisa matikan, agar cahayanya tidak mengganggu pasien-pasien di kamar tamu.

"Kenapa? Ada apa?" Lisa terbangun karena suara Jiyong itu. Bergegas duduk, menatap Jiyong yang datang. "Kau butuh sesuatu?" tanya Lisa sekali lagi.

Pria itu menggelengkan kepalanya sekarang, perlahan duduk di sebelah Lisa kemudian berkata kalau ia baik-baik saja. Ia sudah sembuh, sudah merasa lebih baik, sudah merasa bertenaga lagi. "Kenapa bangun? Tidur saja lagi. Ini baru jam- oh, ini masih jam sembilan?" komentar Lisa, sengaja merubah posisi duduknya, agar ia bisa nyaman duduk bersebelahan dengan Jiyong di sofa itu.

"Aku sudah tidur seharian," Jiyong berkata, sembari mengusap-usap kakinya yang tadi membentur meja.

"Hm... Harusnya kau sudah sembuh sekarang," Lisa menyetujuinya. "Kau membuatku takut tadi pagi," susulnya.

"Aku?"

"Hm... Toil pingsan di kamar mandi, aku berlari ke kamarmu, ingin memintamu membantuku mengangkatnya. Tapi kau sedang tidur di ranjang, berbaring, dengan perut berdarah," cerita Lisa, membuat Jiyong langsung menoleh, menatap pada perutnya sendiri. Tidak ada darah apapun di sana, tapi pakaian yang kemarin ia pakai pun tidak ada lagi di sana. Seseorang mengganti bajunya, meski tidak dengan celananya. "Kau melukai tanganmu lagi. Mungkin saat membuka pintu? Atau saat membuka jaketmu? Aku tidak tahu. Pokoknya, jahitan ditanganmu terbuka lagi, tanganmu berdarah lagi, dan kau tidak menyadarinya. Aku hampir kena serangan jantung karenamu, bisa-bisanya kau tidur dengan banyak darah begitu," keluhnya kemudian. "Apa yang terjadi pada tanganmu? Kau ingin memotong ibu jarimu sendiri? Hanya kena cutter tapi lukanya separah itu? Menakutkan," susulnya, karena ia melihat luka di tangan Jiyong saat dokter datang memeriksanya tadi.

"Lalu Toil bagaimana? Kau membawanya ke ranjangku sendirian?"

"Tentu tidak, aku menelepon dokter," santai Lisa. "Toil pingsan karena terlalu banyak muntah, mungkin karena mabuk juga? Ya! Jangan mabuk-mabukan seperti semalam lagi! Berapa banyak yang kalian minum? Apa kau lupa kalau Toil koma belum lama ini? Bisa-bisanya kau memberinya alkohol sebanyak itu. Bagaimana kalau dia mati?" omel Lisa, untuk kesekian kalinya.

"Maaf," pelan Jiyong. "Aku tidak akan mengajaknya minum-minum lagi. Aku akan kembali ke Paris," susulnya, yang kali ini sama sekali tidak Lisa tanggapi. "Tapi, aku tidak akan membawamu. Bagaimana bisa aku membawa istri temanku ke Paris? Aku tidak akan melakukannya. Kau datang lah ke Paris bersama Toil, aku akan menjamu kalian di sana. Ah! Dan jangan salah paham, aku tidak meninggalkanmu, kita bisa bicara di telepon, atau bertukar pesan. Aku hanya harus kembali, karena pekerjaanku. Saat senggang, aku akan ke sini lagi, mengunjungimu," ocehnya, yang masih Lisa abaikan.

Lama Lisa terdiam. Jiyong menoleh untuk menilai ekspresi gadis itu. Ia tidak berekspresi sekarang. Hanya melihat ke arah jari-jarinya sendiri, menunduk, menatap ke arah paha serta lututnya sendiri.

"Aku tidak pergi dalam waktu dekat," Jiyong kembali bicara. "Ya! Sungguhan, aku tidak berencana melarikan diri, aku tidak berencana meninggalkanmu dan Toil. Aku hanya pergi kerja, aku juga perlu-"

"Kapan?"

"Hm?"

"Kapan kau akan pergi?"

"Nanti, setelah pakaian Toil selesai. Atau kau mau menyelesaikannya untukku?"

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang