50

155 38 0
                                    

***

Kira-kira dua minggu, Jiyong menyelesaikan beberapa pakaian untuk Toil. Pria itu menggantungnya di lemari, setelah memastikan Ahn Toil benar-benar menyukai kemejanya. "Rasanya aku ingin membuang semua kausnya," komentar pria itu, saat Lisa mengantarnya untuk masuk ke kamar Toil lalu meletakkan beberapa kemeja juga jas dalam lemarinya.

"Jangan pikir aku belum mencobanya," balas Lisa, yang berdiri di ambang pintu, memperhatikan kamar Toil yang jadi semakin berantakan setelah pria itu kembali bekerja di kantor. Toil tidak punya waktu untuk merapikan kamarnya, tapi ia melarang siapapun memindahkan barang-barang di kamarnya. Semua berkas yang menumpuk di lantai sudah diatur sesuai kebutuhannya—begitu pria itu bersikeras.

"Perhatikan suami-"

"Kau saja yang memperhatikannya, kau boleh memilikinya," potong Lisa, lantas meninggalkan Jiyong, pergi ke kamarnya sendiri setelah berpesan agar Jiyong menutup lagi pintu kamar Toil.

Jiyong keluar dari kamar Toil, kemudian melangkah ke kamar Lisa di sebelahnya. Pria itu mengetuk pintunya lebih dulu, meski Lisa sengaja membuka pintu kamarnya. "Aku akan kembali ke Paris lusa, kau ingin aku melakukan sesuatu untukmu?" tanya Jiyong, yang kali ini berani masuk ke kamar Lisa lalu duduk di ranjangnya. Sedang pemilik kamar itu berdiri di depan meja rias, melihat layar handphonenya di sana. Daya handphonenya sedang diisi di sana.

"Tidak ada," geleng Lisa. "Kau sudah membeli tiketmu?" tanyanya dan Jiyong mengangguk, mengatakan kalau ia sudah mengurus tiketnya sendiri beberapa hari lalu. "Kau tidak menemui ibumu sebelum pergi?" gadis itu menoleh, melontarkan pertanyaannya sembari menatap lawan bicaranya.

"Dia tidak mau menemuiku, sibuk, katanya," santai Jiyong. "Dia akan menemuiku ke Paris setelah urusannya selesai. Kami hanya bicara di telepon," susulnya.

Lisa mengangguk, lalu kembali menoleh menatap handphonenya. Kembali mengecek beberapa pesan masuk, membalasnya dan mengabaikan Jiyong. Sebentar kesunyian menyelimuti mereka. Pria itu menutup mulutnya, sebab Lisa pun begitu. Hanya ia pandangi gadis yang disukainya itu, meyakinkan dirinya sendiri kalau ia telah mengambil pilihan terbaik yang bisa dipilihnya.

Ia harus pergi, agar Lisa bisa hidup tenang, bahagia dengan Toil. Ia harus pergi, sebab terlalu lama berada di rumah itu, mungkin akan menghancurkan rumah tangga teman-teman dekatnya. Ia harus pergi, agar bisa menata perasaannya. Ia harus meninggalkan rumah itu, membuat jarak agar mereka bertiga bisa berteman. Setidaknya mereka bisa tetap berteman, meski perasaannya tidak terbalas.

"Aku melihat perlengkapan bayi di gudang," Jiyong membuka pembicaraan lagi. Membuat Lisa kembali menoleh padanya, menatapnya. "Boleh aku menanyakan sesuatu?" susulnya, berhati-hati dengan kalimatnya. Khawatir pertanyaannya akan membuat mereka bertengkar. Khawatir Lisa akan marah karena ucapannya.

"Apa yang ingin kau ketahui?"

"Apa Toil jadi seperti sekarang karena kalian belum berhasil punya anak?" tanyanya.

Lisa terdiam, menatap lawan bicaranya dengan raut santai seperti sebelumnya. Tidak terlihat terkejut, tidak juga kelihatan marah. Sementara Jiyong menutup rapat mulutnya, benar-benar khawatir ia akan merusak suasana lagi. Ada banyak hal yang ingin ia ketahui. Ada banyak suasana yang membuatnya penasaran. Tapi keberanian untuk menanyakannya, hampir tidak ada.

"Tingkah mana yang kau bicarakan?" Lisa meletakan handphonenya, bersandar pada meja riasnya untuk menatap pria itu. Membuat pertanyaan Jiyong tadi jadi sebuah pembicaraan yang serius.

"Selingkuh?"

"Ah... Memang ada kisah sedih dibalik tingkahnya yang itu," angguk Lisa. "Kau tahu Toil menyukai Lee Dahee, kan? Sangat menyukainya tapi ditolak. Kau pasti tahu, waktu itu Toil bertingkah seolah tidak akan mendekati wanita lain sampai Lee Dahee menerima cintanya."

"Dia hanya membual," komentar Jiyong. Tahu betul kalau Toil merasa begitu di awal-awal kelas sepuluh. Tapi tidak sampai satu tahun setelah ocehan sesumbar itu, Toil mendekati wanita lain, teman sekolah mereka.

"Awalnya tidak," geleng Lisa. "Aku juga baru tahu setelah kau tiba-tiba kabur dari rumah. Toil merahasiakannya, tapi Lee Dahee pernah melukai perasaannya. Dahee bilang padanya, aku bisa berkencan dengan siapapun. Meski tidak punya perasaan apapun pada pria itu, aku bisa mengencaninya, bahkan seorang kutu buku mesum atau penjahat sekalipun, aku bisa mengencaninya. Tapi kau tidak masuk hitungan, aku tidak bisa berkencan denganmu, meski kau satu-satunya pria di dunia ini. Dahee bermaksud bilang kalau dia tidak bisa mengencani Toil karena menganggap Toil keluarganya. Bagaimana kau bisa mengencani keluargamu sendiri? Adikmu sendiri? Itu tidak mungkin. Tapi Toil salah paham, dia menganggap Dahee sedang memberitahunya, kalau ia jauh lebih buruk dari kutu buku mesum bahkan penjahat."

"Bodoh," komentar Jiyong. "Kenapa dia merahasiakannya?"

"Dia malu mengakuinya, kalau gadis yang disukainya menganggap ia lebih buruk daripada penjahat," santai Lisa. "Setelahnya, dia mulai mengencani banyak perempuan. Kalau kau tanya berapa mantan pacarnya, mungkin sampai 600 orang? Banyak sekali sampai aku berhenti mengingat-ingatnya lagi. Toil bisa mengencani tiga perempuan sekaligus. Tapi akan langsung putus hanya karena sekali bertengkar. Begitu gadis yang ia kencani marah, mereka putus. Terus begitu dan dia menikmatinya. Somi pengecualian karena Toil belum menyelesaikan lagunya saat Somi marah."

"Bajingan itu... Augh! Kepalaku sakit memikirkannya, dia sudah bertingkah sejauh itu dan kau masih bertahan dengannya? Delapan tahun? Kau lebih gila daripada Toil, kau menyadarinya?"

"Berapa banyak kebohongan Toil yang kau percayai?" balas Lisa, kali ini ia tunjukkan raut heran di wajahnya. "Kau benar-benar percaya kalau aku dan Toil melihat satu sama lain seperti itu? Bahkan melihatku telanjang saja tidak akan membuatnya ingin memperkosaku. Dia mungkin akan berpaling lalu bilang aku terlalu kurus atau terlalu banyak makan nugget. Dia tidak melihatku sebagai perempuan. Kalau dia melihatku sebagai perempuan, mana mungkin dia akan memukulku di jalan seperti waktu itu? Mana mungkin kami akan bertengkar seperti waktu itu? Bukan begitu?"

Jiyong terdiam. Mencoba mempercayainya. Mencoba untuk memahami dua temannya itu. Namun siapa yang akan percaya? Mereka berdua sudah lama menikah. Sudah lama bersama, hanya berdua. Lisa amat bergantung pada Toil, mana mungkin tidak ada perasaan apapun diantara mereka? Mana mungkin tidak ada cinta di antara mereka? Sulit sekali mempercayainya.

"Kau tidak mempercayainya?" tanya Lisa, setelah ia beri waktu Jiyong untuk menimbang-nimbang. "Bagaimana kalau begini? Aku tidak bisa tidur dengannya. Dengan pria manapun. Setiap kali ada pria yang ingin tidur denganku, bahkan saat pria itu baru menyentuh tanganku, aku gemetar. Lebih parah dari yang kau lihat di kereta."

"Kenapa?"

"Mana aku tahu. Mungkin di hidupku sebelumnya aku pernah diperkosa lalu dibunuh? Aku tidak pernah mencaritahunya. Tidak ada urusan mendesak untuk mengetahuinya juga. Dengan keadaanku yang begitu, Toil bisa jadi suami yang sempurna, iya kan? Aku tidak perlu melayaninya, dia bisa mencari kebutuhan itu sendiri. Uangnya pun banyak, aku tidak perlu membiayainya. Ayah ibunya juga tidak banyak ikut campur. Pernikahan ini sempurna untukku. Daripada tinggal serumah dengan suami dan membuat sebuah keluarga kecil, aku lebih cocok tinggal bersama sepupu dekatku. Anggap saja Toil sepupuku, kalau menurutmu istilah adik terdengar menjijikan."

Lisa bercerita, dengan sangat santai. Ia beberkan rahasianya tanpa rasa gugup. Membuat cerita itu terdengar seperti bukan masalah besar. Namun bagi pendengarnya, bagi Jiyong, ceritanya terasa mengganjal. Sepuluh tahun lalu, saat mereka melakukannya, Lisa sama sekali tidak gemetar. Gadis itu menyukainya, mereka sama-sama menyukainya, malam romantis waktu itu.

"Kau tidak pernah melakukannya dengan Toil?"

"Kau baru sadar kalau Toil banyak membohongimu selama ini?"

"Lalu perlengkapan bayi di gudang?"

"Perintah agar aku dan Toil cepat punya anak tapi Toil mengabaikannya di gudang."

"Kenapa?"

"Kenapa lagi? Tentu saja karena dia tidak bisa membuatnya denganku."

***

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang