54

189 39 5
                                    

***

Toil terlelap karena lelah. Tanpa mandi, tanpa mengganti pakaiannya bahkan tanpa membuka kopernya, pria itu berbaring di ranjang lalu tertidur. Menaiki tangga, sembari mengeluh ternyata menguras banyak tenaganya. Terlebih karena ia baru saja turun dari pesawat.

Lisa pun sama, gadis itu berbaring di ranjang penginapannya. Merentangkan tangan dan kakinya yang gemetar karena lelah. Mengaku kalau dirinya tidak pernah berolahraga seberat ini sebelumnya.

"Sudah aku bilang menginap di hotel saja," kata Jiyong, sembari mengulurkan sebotol air pada gadis itu. Beruntung di dapur kecil dalam flat itu sudah di sediakan dua botol air berukuran kecil. Ada juga handuk dan peralatan mandi sederhana di sana. Ia tidak tahu sebelumnya, kalau flat tempatnya tinggal juga melayani pelanggannya selayaknya hotel standard. Dekorasi dan fasilitas yang disediakan tidak terlalu buruk—pikirnya.

"Kau tidak bilang kalau tidak ada lift!" protes Lisa, sembari merebut botol yang Jiyong berikan dengan kasar, ingin dengan jelas menunjukan perasaannya sekarang—sebal.

"Kau sudah melihat tangganya," debat Jiyong tanpa meninggikan suaranya.

Ia bisa mengerti kenapa Lisa kesal sekarang. Gadis itu selalu hidup dalam rumah mewahnya, meski tanpa pelayan. Meski Lisa mengaku bisa hidup sederhana, tapi Jiyong harus sadar kalau tempatnya tinggal itu jauh dari istilah sederhana. Tunggu sampai Lisa melihat flatnya di sebelah, gadis itu akan semakin terkejut nanti.

Lisa memelototi Jiyong sekarang. Sembari menenggak airnya, memasukan semua isi botol itu pada tubuhnya, menggantikan semua keringat yang ia keluarkan tadi. "Besok pindah lah ke hotel, akan aku carikan hotel bagus, yang pastinya punya lift," tenang Jiyong kemudian. "Beristirahat sekarang, aku ke rumahku dulu. Telepon saja kalau kau perlu sesuatu," susul Jiyong, tersenyum kemudian meninggalkan Lisa juga Toil di sana. Pergi ke pintu sebelah kiri, lalu masuk ke dalam flatnya yang menyedihkan.

Begitu masuk ke dalam flat itu setelah perjalanan jauh, Jiyong selalu merasakan hal yang sama—sesak. Bukan hanya karena flatnya yang pengap karena jendela sudah lama tidak buka, tapi juga karena semua luka yang ia simpan di sana. "Heish! Aku jadi harus merapikan-" pria itu akan mengeluh, namun pintunya sudah lebih dulu di ketuk.

Ia yang belum sempat mengunci pintu flatnya, hampir saja membuat Lisa jatuh. Gadis itu membuka pintunya, tepat setelah ia mengetuk. Akan mengintip ke dalam, siapa tahu Jiyong ada di kamar mandi dan tidak mendengarnya. Tapi saat pintu dibuka dan udara panas menampar wajahnya, Lisa mematung.

"Apa ini?" tanyanya kemudian, setelah ia menangkap basah bentuk asli flat yang Jiyong tinggali.

Tidak ada kesempatan lagi. Tidak ada alasan lagi. Hidup menyedihkannya, tertangkap basah sekarang. Apapun penjelasan Jiyong, Lisa tidak akan mempercayainya sekarang. Tepat di depan matanya sendiri, Lisa melihat gudang tempat Jiyong tinggal.

Ranjang besi usang yang kelihatan hampir ambruk, setumpuk pakaian tanpa lemari di atas koper tua, sederet penghargaan di lantai, meja kayu jelek yang penuh barang-barang juga sepatu dan tas yang berserakan, dari pintu Lisa bisa melihat semuanya.

Lisa kehabisan kata-katanya sekarang. Tidak bisa ia gerakan mulutnya. Tidak bisa ia jawab pertanyaan Jiyong—kau butuh sesuatu?—ia bertanya begitu, bertingkah seolah tidak ada apapun yang salah di sana. Seolah dirinya tidak khawatir, tidak malu, tidak juga keberatan saat Lisa melihat hidupnya yang menyedihkan.

Gadis itu menggeleng. Ia bergerak mundur. Bak baru saja melihat seorang penjahat, gadis itu melarikan diri. Dengan terburu-buru gadis itu kembali ke flat sebelah. Masuk ke dalamnya, tanpa memutar kunci pintunya.

Jiyong menyusul, menghampiri gadis yang sekarang duduk di sofa. Melamun, tengah membayangkan bagaimana Jiyong tinggal dalam gudang itu. Bagaimana Jiyong hidup menyedihkan, menderita selama ini. Baru membayangkannya saja, Lisa sudah merasa luar biasa sesak sekarang.

"Aku belum sempat bersih-bersih saat meninggalkan rumah waktu itu," dengan pelan Jiyong berkata. Beralasan karena sebenarnya, ia tidak pernah merapikan rumahnya. Pria itu bergabung di sofa sekarang, duduk di sebelah gadis yang tengah memutar banyak film sedih dalam kepalanya. "Kau terkejut? Jangan khawatir, rumahku hangat saat musim dingin dan cukup sejuk di musim panas, tempat ini nyaman," susul Jiyong, hanya ingin menenangkan gadis yang sekarang mengabaikannya.

"Begitu urusanmu di sini selesai, pulang saja bersamaku," kata Lisa kemudian. "Kau bisa tinggal di rumahku, seperti kemarin. Kita bisa tinggal bertiga. Aku tidak akan memintamu membeli apapun, aku tidak akan memintamu membayar apapun. Jangan tinggal di sini, pulang saja, ya?" bujuknya. Merasa ia harus membawa pria itu pulang, menarik ke atas, kembali ke tempat Jiyong harusnya berada. Ayah pria itu kaya raya. Orangtua Jiyong punya sebuah perusahaan besar di kota mereka. Tapi bagaimana bisa si pewaris justru hidup menderita di negeri orang lain? Lisa tidak habis pikir.

Dulu Lisa merasa dirinya akan bersyukur, akan merasa senang kalau Jiyong menderita. Sebelum mereka bertemu lagi, Lisa sempat berharap Jiyong kesusahan. Sangat kesusahan hingga pria itu menyesal telah meninggalkannya. Tapi setelah tahu bagaimana tempat Jiyong tinggal, hati gadis itu terasa sangat sesak. Ia menyesali semua harapannya, semua kutukannya waktu itu.

"Aku bekerja-"

"Bekerja saja bersamaku. Kau bisa menjual bajumu di rumahku. Aku bisa membantumu. Kau ingin membuka tokomu sendiri? Atau kau mau ikut pameran? Aku bisa membantumu. Aku punya banyak kamar di rumah, tinggal saja bersamaku, hm? Jangan tinggal di sini, ya? Kau membuatku sedih," bujuk Lisa, menyela ucapan Jiyong, merengek karena Jiyong kedengaran akan menolak ajakannya.

"Kalau kau takut akan merusak rumah tanggaku dengan Toil, kami bisa bercerai," Lisa kembali bicara. "Aku dan Toil bisa bercerai lalu kita bertiga bisa tinggal di sana sebagai teman. Teman dekat yang tinggal bersama. Kita bisa jadi roommate, yang tinggal bersama di sharing house. Atau rumah kost. Atau asrama, apapun istilahnya, kita bisa tinggal bersama di sana. Jangan tinggal sendirian di sini, ya? Pulang saja, ya?" gadis itu menarik tangan Jiyong. Menggenggam kedua tangan pria itu, membujuknya. Berusaha agar Jiyong segera menganggukan kepalanya. Segera mengiyakan ajakannya. Segera menyetujui permintaannya.

"Tidak, Lisa. Jangan mengada-ada, untuk apa kau bercerai hanya karena-"

"Baiklah," gadis itu memotong ucapan Jiyong. "Aku juga tidak bisa bercerai tanpa persetujuan Toil. Baik, maaf karena aku mengada-ada. Tapi pulang lah. Jangan tinggal di sini, ya? Kalau kau tidak mau tinggal di rumahku, akan aku carikan apartemen untukmu. Akan aku carikan tempat tinggal yang bagus untukmu. Kau tidak perlu membayarnya, aku yang akan membayarnya. Aku juga bisa membelikanmu sebuah rumah kalau kau mau. Kau mau kan? Pulang lah," masih Lisa berusaha membujuk Jiyong, sampai Toil yang ada di kamar, terganggu dengan rengekan-rengekan itu, dan terbangun dari tidurnya.

Dari kamar yang pintu dan jendelanya terbuka, Toil keluar. Berjalan menghampiri dua temannya, lalu mengeluh karena suara rengekan Lisa mengganggunya. "Apa yang kau inginkan? Kenapa merengek begitu? Mengganggu saja," komentar Toil, tanpa tahu apa yang sedang dua temannya bicarakan.

"Lihat lah rumah Jiyong di sebelah," suruh Lisa kemudian. "Bahkan kamar pembantu saja masih lebih bagus dari rumahnya," cibirnya kemudian. Tidak peduli meski kata-kata itu akan melukai perasaan Jiyong.

***
Hari ini cukup di sini, aku kerja duls... Selamat tidur teman-teman

Eurydice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang